tajukonline.com – (7/12/2018) Anggota Dewan Pers menyebut pernyataan calon Presiden Prabowo Subianto bahwa media massa di Indonesia telah memanipulasi demokrasi sebagai “kesalahan besar”.
Prabowo menyampaikan pernyataan tersebut karena menganggap “media tak berimbang memberitakan aksi reuni 212 di Monas”.
Anggota Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, mengatakan Prabowo semestinya membaca dan mempelajari lagi undang-undang tentang pers.
Menurut dia, keputusan media tak menjadikan reuni 212 sebagai berita utama menunjukkan independensi, sebab media harus bebas dari tekanan.
“Ketika menurunkan sebuah, media mempertimbangkan dengan baik visi dan misinya. Kalau dikatakan tidak independen, salah besar. Sebab kalau media menulis karena tekanan, justru tidak independen,” jelas Hendry Ch Bangun kepada BBC News Indonesia.
“Lagipula, setiap media punya agenda masing-masing,” sambungnya.
Saat berpidato di acara peringatan Hari Disabilitas Internasional, Prabowo menyampaikan “kekesalannya” karena tidak semua media meliput dan menulis reuni 212 dihadiri “11 juta orang lebih”.
Padahal baginya, aksi tersebut belum pernah terjadi dan merupakan kejadian pertama manusia berkumpul tanpa dibiayai oleh siapa pun.
“Tiap hari ada kira-kira lima hingga delapan koran dateng ke tempat saya. Saya hanya mau lihat, bohong apa lagi nih? Bohong apa lagi nih? Bohong apa lagi yang mereka cetak? Dan puncaknya adalah kemarin hari Minggu. Mereka menelanjangi diri mereka di hadapan rakyat Indonesia. Ada belasan juta mereka tidak mau melaporkan,” ujar Prabowo.
“Saya katakan, hai media-media yang kemarin tidak mau mengatakan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang di situ, kau sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis lagi,” sambungnya.
Prabowo bahkan mengatakan tidak akan mengakui para jurnalis yang meliputnya dan menyebut wartawan sebagai “antek yang ingin menghancurkan Indonesia”.
Kepada pengunjung yang datang, ia meminta agar tak menghormati para jurnalis lagi.
Sikap Ketua Umum Gerindra tersebut, menurut Hendry Ch Bangun, semestinya disampaikan dengan baik, bukan dengan menuding dan menghujat.
Sebab dari pengamatannya, sejumlah media nasional berada di jalur yang benar dalam meliput pemberitaan yang berkaitan dengan pilpres.
“Media itu kan sejatinya mengedepankan kepentingan publik, tidak partisan, dan itulah yang dilakukan sekarang. Kalau ada yang dianggap partisan, biar masyarakat yang menilai,” imbuhnya.
“Sekarang bukan zamannya mengata-ngatai, lalu apa gunanya?”
Dia juga meyakini, masyarakat masih memercayai media massa di tengah kondisi maraknya berita bohong atau hoaks di media sosial.
Ini karena segala hoaks yang bertebaran di media sosial dikonfirmasi kebenarannya oleh para jurnalis.
Laporkan ke Dewan Pers
Reuni 212 yang digelar secara terbuka di Monas pada Minggu (02/12), memunculkan perdebatan panjang tentang jumlah orang yang hadir.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan media tidak akurat karena hanya menyebut puluhan ribu.
Selain itu, pemberitaan tentang reuni 212 di beberapa media, diklaim sangat minim dan tidak proporsional. Sehingga menurutnya, wajar jika Prabowo mengkritik hal tersebut.
Gerindra mempertimbangkan untuk melaporkan persoalan ini ke Dewan Pers.
“Kalau dibilang 50.000 ya kelewatan. Sebab faktanya ada kejadian begitu besar, melibatkan demikan besarnya orang, kemudian diberitakan hanya sekian. Bahkan ada yang tidak memberitakan. Wajar dong dikritik?” ucap Habiburokhman.
Habiburokhman mengatakan pihaknya juga sedang mendata sejumlah media online yang “sengaja menyudutkan dan mencitrakan Prabowo negatif dalam pemberitaan”.
Ia mencontohkan berita mengenai Prabowo kesulitan ajukan kredit ke Bank Indonesia.
“Itu kan bahasa spontan saja. Tapi yang kami curigai, media menggorengnya seolah-olah menunjukkan Prabowo bodoh dan tidak paham bahwa BI tidak bisa mengucurkan kredit,” imbuhnya.
“Kalau orang normal, pasti tidak ada kecenderungan keinginan mem- . Seharusnya dipahami yang dimaksud Prabowo adalah bank-bank di Indonesia.”
Habiburokhman mengklaim kritik mantan panglima Kostrad itu adalah bagian dari menegakkan demokrasi.
Ia menampik anggapan yang menyebut capres ini meniru gaya Presiden AS Donald Trump yang berupaya mendelegitimasi media dengan begitu, publik akan lebih memercayai media sosial yang penuh hoaks.
“Kita nggak tahu Donald Trump. AS dan Indonesia jauh berbeda. Tidak mungkin meniru ke sana,” tukasnya.
Utamakan program, bukan jargon
Pakar psikologi politik dari Universitas Indonsia, Hamdi Muluk, menyebut ada kemiripan gaya kampanye Prabowo Subianto dengan Donald Trump.
Ia menilai Prabowo “selalu mencitrakan dirinya sebagai seorang nasionalistik” dan membuat slogan yang hampir serupa.
Hanya saja, jargon itu tak pas dilekatkan pada kondisi Indonesia. Sebab Indonesia belum pernah mencapai posisi “hebat”.
Kalaupun ingin dibandingkan dengan era Soeharto, kata Hamdi, tidak realistis.
“Logikanya, memang kapan Indonesia? Kecuali seperti Cina yang sekarang menguasai perekonomian dunia. Indonesia sekarang itu, justru kondisi 20 tahun lalu Cina,” imbuhnya.
Sikap sama juga ditunjukkan dengan menyebut media melakukan kebohongan dalam pidato di acara peringatan Hari Disabilitas Internasional, Rabu (05/12).
Merujuk kepada Donald Trump, ia berkali-kali menuding media menyebarkan berita miring tentang dirinya. Bahkan terminologi berita palsu atau dipopulerkannya.
“Kemiripan dua orang ini memang sama. Pengamatan banyak orang, sepanjang ini polanya sama. Tapi ada beberapa hal yang menetap di Prabowo, terlepas dari fenomena Trump, retorika tentang nasionalistiknya sama. Prabowo selalu mencitrakan dirinya sangat nasionalistik,” jelas Hamdi Muluk kepada BBC News Indonesia.
Tapi menurut Hamdi Muluk, pernyataan kontroversi semacam itu tak terlalu diminati publik dan takkan berhasil meningkatkan popularitasnya.
Ia menyarankan Prabowo, agar menghadirkan program-program yang dibutuhkan masyarakat seperti bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan atau menaikkan pertumbuhan ekonomi.
“Popularitas Prabowo tuh sudah mentok. Elektabilitasnya saja terpaut 20?ri Jokowi. Jadi sebaiknya sekarang dia memunculkan narasi yang berdampak langsung ke masyarakat,” sambungnya.
Dalam survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, tingkat keterpilihan Jokowi-Maruf sebesar 52,2%, sementara Prabowo-Sandi sebesar 29,5%.
Ini karena berbagai isu dan program yang disampaikan ke publik oleh dua kubu tidak punya efek elektoral yang signifikan.
Isu seperti Tampang Boyolali misalnya, sebanyak 65,8% responden menyatakan tidak suka dengan pernyataan tersebut.
Sementara mereka yang menyatakan suka hanya sebesar 9,3%. Selain itu, pernyataan Prabowo yang mengatakan jika terpilih sebagai presiden tidak akan mengimpor juga hanya menyita perhatian publik sekitar 18,7% pemilih.