Kean Santang menetapkan pilihannya beralih agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia berganti nama menjadi Sunan Rahmat.
Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun tak terelakkan.
Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang(moksa) dan bersalin rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda, seperti dirilis laman historia, mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.
Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?
Pantun dan Karya Sastra
Catatan awal mengenai Prabu Siliwangi samar-samar terekam dalam cerita pantun Langga Larang, Babakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Keempat cerita pantun itu disebut dalam teks Siksa Kandang Karesianyang berbahasa dan beraksara Sunda Kuna, bertarikh 1518 M.
Namun, para peneliti kajian Sunda kehilangan narasi awal tersebut. Pasalnya, keempat cerita pantun itu lenyap tak berjejak. Kendati begitu, “dengan bukti ini sudahlah jelas bagi kita, bahwa dalam tahun 1518 M Prabu Siliwangi sudah jadi tokoh cerita pantun,” tulis Amir Sutaarga, filolog pada Museum Gajah (kini, Museum Nasional) dalam Prabu Siliwangi.
Menariknya, sosok Prabu Siliwangi masih tampil di banyak karya sastra, terutama cerita pantun Sunda sekira akhir abad ke-16. Seorang linguis asal Belanda, Fokko Siebold Eringa, yang menggarap cerita pantun Loetoeng Kasaroeng sebagai objek disertasinya, berhasil menghimpun tigapuluh tujuh judul cerita pantun yang dikenal luas masyarakat Sunda. Namun dalam banyak cerita pantun tersebut, Sang Prabu justru tak ditempatkan sebagai tokoh utama yang memiliki peran besar dalam cerita. Sebaliknya, tulis Eringa dalam Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologisch Verhaal uit West Java (1949), diterbitkan sebagai seri Verhandelingen van het Koniklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkekunde,(VKI), deel 8. 1949, tokoh utama yang tampil dalam cerita ialah para putranya: Jaka Susuruh, Guru Gantangan, dan Munding Laya Dikusuma.
Kaitan rekam jejak Sang Prabu dalam karya sastra abad ke-16 dengan kenyataan zaman pernah diungkap Jacobus Noorduyn, filolog asal Belanda yang menggeluti beragam naskah Sunda. Dia mengambil pijakan dari teks Bujangga Manik yang memuat kekayaan detail topografi wilayah Jawa, Bali, dan berbagai lokasi di tanah Sunda yang dilalui Bujangga Manik, pujangga kelana asal Pakuan.
Sesaat akan menyeberangi perbatasan Sungai Ci-Pamali (sungai di Brebes), batas wilayah Sunda, Bujangga Manik terlebih dulu singgah di wilayah Arega Jati dan Jalatunda –keduanya tak dikenali. Teks itu menghubungkan Jalatunda, yang biasanya mengacu pada tempat pemandian (patirthan), sebagai tempat melestarikan kenangan (sakakala) terhadap Siliwangi. Potongan kecil informasi dalam teks Bujangga Manik menunjukkan bahwa Siliwangi telah menjadi tokoh historis saat teks itu ditulis.
“Kisahnya sudah dikenal pada masa itu, serta suatu peristiwa penting dalam hidupnya pasti telah terhubung dengan Jalatunda atau area yang lebih spesifik,” tulis J. Noorduyn dalam ”Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source”, Bijdragen tot de taal, land- en volkenkunde 138, 1982.
Narasi agak lengkap mengenai laku hidup Prabu Siliwangi tersua dalam beberapa manuskrip yang digubah pada abad ke-19: Tjerita Prabu Anggalarang, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, dan Wawatjan Tjarios Prabu Siliwangi. Namun muatan teks manuskrip-manuskrip tersebut, “kurang artinya sebagai sumber sejarah, tetapi lebih banyak merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang,” ujar Sutaarga.
Prabu Siliwangi tidak hanya hidup dalam teks dan rangkaian cerita. Namanya pun kerap digunakan sebagai legitimasi politik para bupati dan bangsawan Sunda. Menurut Sutaarga, dalam berbagai naskah yang kebanyakan ditulis abad ke-19, nama Prabu Siliwangi dimuat untuk memenuhi kebutuhan para bupati yang berkuasa di berbagai kabupaten di Jawa Barat, khususnya Priangan. Mereka ingin mengaitkan hubungan trahnya dengan Prabu Siliwangi lewat babad-babad keluarga yang memuat pohon kekerabatan.
Identifikasi Siliwangi
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, sebuah manuskrip yang digubah di bawah lindungan Pangeran Arya Carbon dari Cirebon dan selesai ditulis tahun 1720, tokoh Prabu Siliwangi disebut sebagai raja Sunda yang beribukota di Pakuan-Pajajaran. Informasi serupa didapat dalam banyak manuskrip yang berasal dari pertengahan abad ke-19. Apakah realitas teks yang menghubungkan Prabu Siliwangi dengan salah seorang raja Sunda adalah realitas historis?
Hasan Djafar, ahli epigrafi, mengatakan Prabu Siliwangi tidak pernah disebut dalam sumber-sumber primer yang berasal dari prasasti dan naskah Sunda Kuna yang muatannya dapat dipercaya. Dari 23 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang telah diteliti, 11 prasasti menyebut nama raja-raja Sunda tapi tak satu pun menyebut nama Prabu Siliwangi. Hal itu bisa dipahami karena, “Prabu Siliwangi bukan nama seorang raja dan nama gelar seorang raja, tetapi julukan bagi salah satu di antara deretan raja-raja Sunda,” ujar Hasan Djafar kepada Historia.
Sumber dari karya sastra lumrahnya menyelaraskan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Namun, kaitan Sang Prabu dengan kerajaan Pajajaran ditolak C.M. Pleyte, etnolog asal Belanda. Pleyte mengajukan pandangannya bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi penguasa Pajajaran.
“Prabu Siliwangi sama dengan Prabu Wangi dari Carita Parahiyangan, yang telah tewas di tanah lapang Bubat,” tulis Pleyte dalam “Raden Moending Laja di Koesoema. Een Oude Soendasche Ridderroman. Met een inleiding over den Toekang Pantoen”, dimuat Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (TBG), XLIX. Menurutnya, Prabu Siliwangi identik dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja dari kerajaan Sunda.
Sejatinya, terdapat dua arus besar pendapat dari para ahli Sunda mengenai identifikasi Prabu Siliwangi. Pendapat pertama dilontarkan Ayatrohaedi, arkeolog Universitas Indonesia, yang mengidentifikasi Prabu Siliwangi dengan tokoh Raja Sunda Niskala Wastukancana. Hal itu disampaikannya dalam “Tunas Bersemi di Bumi Subur”, dimuat Proceedings Seminar Sejarah dan Budaya II Tentang Galuh. Menurutnya, Siliwangi berasal dari kata “silih” yang berarti “ganti”, sedangkan “wangi” berarti “harum”; atau bermakna menggantikan seseorang yang harum atau tersohor namanya.
Raja yang harum dan tersohor namanya, menurut Ayatrohaedi, adalah Prabu Maharaja yang gugur di tanah lapang Bubat. Walau tahta kerajaan sementara sempat diisi Buni Sora selama enam tahun, Ayatrohaedi memandang Niskala Wastu Kancana merupakan raja pengganti Prabu Maharaja yang berjasa besar membangun kerajaan Sunda. Masa bertahtanya pun cukup lama, 104 tahun (1371-1357), hingga mangkat di Nusalarang.
Tapak jasanya sebagai raja tersua dalam beberapa prasasti. Prasasti Kawali IA, dari wilayah Astana Gede, Kawali, Ciamis, yang berasal dari abad ke-15, menyebut Niskala Wastu Kancana sebagai Prebu Raja Wastu yang bertahta di ibukota Kawali. Dialah yang memperindah kadaton Surawisesa, membuat parit yang mengelilingi ibukota, memberikan kemakmuran bagi seluruh desa, dan melaksanakan kebajikan agar lama jayanya di dunia. Namanya pun disebut dalam Prasasti Kabantenan I (abad ke-16) dan Batu Tulis, Bogor (1533 M).
Pendapat berbeda dikemukakan Amir Sutaarga dalam Prabu Siliwangi dan Saleh Danasasmita dalam Tokoh Prabu Siliwangi dalam Perspektif Sejarah. Kedua ahli itu mengidentifikasi Prabu Siliwangi sebagai Sri Baduga Maharaja, cucu Niskala Wastu Kencana, yang bertahta pada 1482-1521 dan memindahkan pusat kekuasaan ibukota di Pakuan-Pajajaran. Pada masanya kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan. Sri Baduga Maharja membangun kembali dan memperindah ibukota Pakuan, memariti sekeliling ibukota Pakuan, membuat monumen berupa gugunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu (ngabalay), membuat hutan lindung (samida), dan membuat Talaga Warena Mahawijaya.
“Tidaklah mengherankan bahwa Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja sampai dua kali mengalami pemberkatan (diwastu) dan masa pemerintahannya merupakan masa kejayaan dan kemakmuran,” ungkap Sutaarga.
Terkait perbedaan pendapat itu, kemunculan sosok Prabu Siliwangi dapat dibaca sebagai sebuah fenomena zaman, gejala peralihan antara tatanan lama dan tatanan baru. Menurut Hasan Djafar, fenomena ini mirip dengan sosok Brawijaya yang dalam Babad Tanah Jawidisebut sebagai raja Majapahit akhir sebelum ditundukkan Demak.
“Prabu Siliwangi di wilayah barat Jawa, dan Brawijaya di wilayah timur Jawa, menjadi tapal batas antara tatanan lama dan baru. Kedua sosok itu merupakan gejala peralihan kepercayaan, agama, dan masa kejayaan,” ujar Hasan Djafar. (arief)