tajukonline.com – (19/12/2018) Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melakukan aksi penolakan Tri Komando Rakyat (Trikora) dengan berorasi di depan pintu Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
“Seminggu lagi natal, tapi kita masih demonstrasi. Kenapa kita masih demonstrasi? Karena 57 tahun yang lalu, seminggu sebelum natal, Soekarno menyatakan invasi militer terbesar [Tri Komando Rakyat atau Trikora],” ujar Juru Bicara FRI-WP Surya Anta saat berorasi di depan pintu Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (19/12/2018).
Dari pantauan Tirto, aksi demontrasi dan orasi yang dilakukan para pendemo adalah dengan membawa sejumlah poster yang menjelaskan penolakan terhadap Trikora dan kemerdekaan untuk Papua. Isi dari Trikora sendiri adalah: Gagalkan pembentukan negara boneka Papua, Kibarkan bendera merah putih di Papua, dan Bersiaplah untuk mobilisasi umum.
“Tanpa bertanya, tanpa konfirmasi ke orang Papua, dibilanglah Papua negara boneka Belanda,” kata Surya sambil berorasi.
Surya menyatakan, meski dinilai ilegal, orasi tersebut sengaja mereka lakukan untuk memperingati 57 tahun Trikora. Selain dilakukan oleh FRI-WP, aksi ini juga diikuti oleh sejumlah organisasi, di antaranya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI).
Surya kemudian melanjutkan mengkoor massa dengan meneriakkan “Kemerdekaan adalah?” yang langsung mendapat balasan “Hak segala bangsa.”.
Dalam orasinya, para pendemo juga berteriak meminta beberapa tuntutan, yakni pemerintahan Jokowi-JK bisa segera menentukan nasib mereka, meminta negara Indonesia dan PBB mengakui bahwa Trikora 19 Desember 1961 merupakan awal pemusnahan rakyat asli bangsa Papua, serta menuntut penarikan anggota TNI dan Polri di Papua yang sering menggunakan pendekatan kekerasan ke masyarakat Papua.
Saat ini, lanjut Surya, kondisi di Papua tidak memperbolehkan media dan wartawan masuk secara bebas. Kalaupun ada, para jurnalis tersebut merupakan jurnalis yang bekerja sama dengan pihak kepolisian.
“Tuntutan kami juga agar jurnalis bisa masuk ke dalam negeri Papua untuk melakukan investigasi ke negara Papua, yang terakhir itu kasus Nduga,” ucapnya lagi.
Dalam aksi tersebut, tampak pihak kepolisian dan tentara yang berjumlah sekitar 40 personel melakukan penjagaan dan pengawasan di lokasi massa pendemo.