tajukonline.com – (28/12/2018) Tokoh yang getol mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo, Ustadz Tengku Zulkarnain, mengatakan kalau utang luar negeri Indonesia dapat menyelamatkan keuangan negara tentu utang Rp5.200 triliun dalam empat tahun terakhir seharusnya membuat perekonomian baik dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara meningkat.
Menurut pendapat Tengku Zulkarnain yang disampaikan lewat Twitter @ustadtengkuzul, yang terjadi dalam empat tahun terakhir justru sebaliknya.
“Kenyataannya…? APBN tidak meningkat. Penghasilan negara malah merosot. Harga-harga semua naik. Subsidi banyak yang dicabut. Paham?” kata Tengku Zulkarnain.
Tetapi menurut pemerhati politik dan ekonomi yang pro kepada Jokowi, Rustam Ibrahim, tidak sependapat dengan pernyataan Tengku Zulkarnain. Dia menyarankan Tengku Zulkarnain membandingkan APBN tahun 2018 dengan 2014.
“Pak @ustadtengkuzul sebelum ngetuit cobalah sedikit membaca. Bandingkan APBN 2018 dengan 2014, pasti akan menemukan penerimaan negara meningkat, belanja negara melonjak, pertumbuhan ekonomi 2018 lebih tinggi dari 2014. Pasti tahu utang itu dibuat sejak Soeharto, SBY sampai Jokowi. Faham?” kata @RustamIbrahim.
Aman
Pada Oktober 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan utang luar negeri Indonesia masih aman. Ia memastikan pemerintah melakukan pengendalian utang dengan menjaga rasio utang dalam batas yang aman berada pada kisaran 30 persen terhadap PDB.
“Utang selama ini digunakan untuk sektor-sektor produktif dalam rangka mendukung pembangunan di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,” kata Sri Mulyani sebagaimana yang dilaporkan situs Sekretariat Kabinet.
Tambahan utang periode 2012-2014 dan 2015-2017, jelas Menkeu, adalah Rp799,8 triliun. Sementara pada periode sebelumnya dan tambahan di 2015-2017 mencapai Rp1.329 triliun.
Namun pada saat yang sama, pada periode 2012-2014 belanja infrastruktur hanya Rp456 triliun untuk tiga tahun, sementara sekarang belanja infrastruktur mencapai Rp904,6 triliun, atau naik dua kali lipat.
Adapun belanja untuk pendidikan dulu hanya Rp983 triliun untuk tiga tahun, sekarang Rp1.167 triliun, atau naik 118 persen. Belanja kesehatan juga naik dari Rp146 triliun menjadi Rp249,8 triliun atau naik 170 persen.
Sementara belanja untuk melindungi masyarakat miskin jelas produktif. Perlindungan sosial dulu, lanjut Menkeu, dulu hanya Rp35 triliun. Sekarang ini di bawah Presiden Jokowi kita belanja sampai Rp299,6 triliun, hampir 8 kali lipatnya.
Transfer ke daerah ada mandatori 25 persen untuk infrastruktur, 20% untuk pendidikan, 10 persen untuk kesehatan. Jadi, belanja transfer ke daerah yang dulu Rp88 triliun untuk berbagai belanja produktif ini, sekarang menjadi Rp315,9 triliun.
“Jadi kalau membandingkan apple dengan apple, tidak hanya tambahan utang, tapi bandingkan untuk apanya,” ujar Sri Mulyani seraya menambahkan, bahwa utang hanya suplemen bukan yang utama, penerimaan perpajakan adalah yang menjadi backbone dari perekonomian kita.
Menkeu menegaskan, pemerintah senantiasa menjaga agar risiko portofolio utang tetap terkendali, dengan berkomitmen untuk terus mendorong efisiensi pengelolaan utang, pemenuhan aspek kehati-hatian (prudent), dan pemanfaatan utang secara produktif, sehingga dapat berkontribusi optimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Belanja APBN Aman dan Kredibel
Pada bagian lain keterangannya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, bahwa selama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tahun 2014-2018 kinerja neraca APBN dalam kondisi aman, kredibel dan sehat.
Beberapa indikator yang disampaikan Menkeu antara lain: defisit APBN yang terus menurun, defisit keseimbangan primer berhasil diturunkan mendekati Rp0, penerimaan perpajakan meningkat drastis dan pertumbuhan pembiayaan utang juga semakin menurun.
“Defisit APBN setiap tahun menurun. Dari tahun 2014 komoditas drop sehingga perekonomian mendapat tekanan. Waktu itu defisit APBN 2,3 persen dari GDP dan sekarang menuju 2,1 persen di tahun 2018. Bahkan outlook-nya untuk 2018 mungkin bisa mendekati 2 persen. 2019, untuk pertama kali kita akan mendesain di bawah 2 persenyaitu 1,8 (persen),” kata Sri.
Dari sisi defisit keseimbangan primer, Menkeu juga menjelaskan bahwa penurunan defisit APBN tersebut diikuti dengan penurunan defisit keseimbangan primer. Hal ini menunjukkan kemampuan membayar bunga utang dari sumber pendapatan negara (pajak dan penerimaan bukan pajak) meningkat.
“Sekarang ini keseimbangan primer sudah mendekati Rp 0. Itu artinya sudah mendekati balance. Ini adalah bukti yang sangat jelas bahwa kebijakan fiskal itu prudent. APBN yang sehat adalah karena penerimaan perpajakan kita meningkat,” kata Menkeu.
Pendapatan dari penerimaan pajak yang meningkat juga turut berkontribusi sebesar 81% terhadap kemandirian APBN, dimana utang hanya bersifat pelengkap atau suplemen.
“Kalau dilihat dari kontribusi 74 persen dari total pendapatan negara dikontribusikan dari sektor perpajakan. Tahun 2018, sudah meningkat menjadi 81 persen. Kita melihat APBN kita makin mengandalkan dari sektor perpajakan. Utang hanya suplemen. Bukan yang utama, penerimaan perpajakan kita yang menjadi backbone,” tambahnya.
Penerimaan perpajakan tersebut juga mengindikasikan komitmen Pemerintah untuk mendukung kemandirian APBN dan mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan utang yang juga terus menurun. Misalnya, tahun 2018 pembiayaan utang tumbuh negatif 9,7% dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh positif 14,6 persen.
Kondisi tersebut diikuti pula dengan penurunan penerbitan SBN (netto) yang tumbuh negatif 12,2% di tahun 2018. Lebih rendah dari pertumbuhan penerbitan SBN (netto) tahun 2014 sebesar positif 17,8 persen. []