SABTU, 22 DESEMBER 2018 malam nestapa meraja di sekujur pesisir Selat Sunda. Satu peristiwa tsunami yang tak didahului peristiwa gempa bumi tektonik menyergap pantai dalam gelapnya malam tanpa ada peringatan.
Analisis sejauh ini memperlihatkan tsunami tak biasa tersebut disebabkan runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau menjadi longsoran gigantis ke Selat Sunda. Dapatkah tsunami tak biasa akibat peristiwa tanah longsor yang sangat besar ini terjadi di Kebumen?
Kosakata tsunami demikian populer di Indonesia akhir–akhir ini. Tahun 2018 mencatat tiga peristiwa tsunami di negeri ini. Dua diantaranya, yakni Tsunami Teluk Palu 28 September 2018 dan Tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018, merenggut ribuan nyawa sekaligus menyebabkan ribuan orang lainnya luka–luka.
Sementara satu diantaranya, Tsunami Lombok 5 Agustus 2018, merupakan tsunami kecil dengan tinggi hanya beberapa sentimeter sehingga tak menelan korban.
Tsunami merupakan gelombang dangkal, yakni gelombang transversal yang panjang gelombangnya jauh lebih besar ketimbang kedalaman perairan yang dilintasinya.
Kedalaman rata–rata Selat Sunda hanyalah 40 meter, sedangkan panjang gelombang tsunami Sabtu lalu sekitar 10.000 meter. Panjang gelombang demikian besar membuat tsunami selalu mengaduk–aduk perairan yang dilintasinya hingga ke dasar.
Berbeda dengan gelombang laut biasa yang hanya mengusik permukaan. Dikombinasikan dengan sifat penguatan / amplifikasi menjelang tiba di garis pantai, inilah yang membuat tsunami memiliki daya rusak jauh lebih besar ketimbang gelombang biasa. Setiap meter persegi air tsunami yang menghantam pantai memiliki kekuatan setara dengan tubrukan truk tronton yang ngebut.
Tsunami disebabkan dua hal. Pertama usikan besar di dasar laut, umumnya berasal dari gempa tektonik dengan patahan sumber sepanjang minimal 100 km yang ada di bawah laut. Sehingga membuat naik / turunnya dasar laut tepat diatasnya. Ini adalah penyebab tsunami lebih dari 90 % kejadian tsunami di Indonesia sepanjang sejarah.
Sementara kurang dari 10 % sisanya disebabkan oleh faktor kedua, yakni injeksi massa berjumlah besar pada tempo singkat ke perairan. Massa tersebut bisa berupa longsoran (baik longsoran bawah laut maupun permukaan laut), awan panas produk letusan gunung berapi, tebing es raksasa yang rontok, tebing terjal yang rontok hingga jatuhnya asteroid / komet. Maka tsunami bisa saja terjadi meski tiada gempa tektonik, seperti yang kita saksikan dalam peristiwa Selat Sunda.
Tsunami Selat Sunda disebabkan oleh runtuhnya lereng sisi barat Gunung Anak Krakatau ke dalam laut sebagai longsoran gigantis dengan volume antara 100 hingga 200 juta meter kubik. Keruntuhan tersebut mungkin terjadi akibat bobot Anak Krakatau sendiri yang terlampau besar, sementara ia berdiri di tepi kaldera Krakatau 1883 yang bertebing curam.
Letusan, yang sudah berlangsung sejak 2002, mungkin turut berperan meski kecil. Longsoran itu mengalir ke dasar kaldera yang berkedalaman 240 meter dari permukaan laut, pada kecepatan ratusan kilometer per jam. Kejadian ini melepaskan getara yang dicatat seismometer–seismometer BMKG sebagai gempa lokal bermagnitudo 3,4.
Laksana melontarkan batu ke dalam kolam, injeksi massa longsoran Anak Krakatau menciptakan olakan besar yang lantas merambat ke segala arah sebagai tsunami. Pulau–pulau yang memagari Gunung Anak Krakatau mengalami hantaman paling telak, dengan tinggi tsunami sekitar 20 meter. Pulau–pulau ini juga yang menjadi pengontrol distribusi energi tsunami sehingga energi terbesar dirambatkan ke barat-barat daya lantas berbelok ke selatan. Akibatnya bagian pesisir timur Selat Sunda menerima energi terbesar dengan dampak terparah.
Mengapa lereng itu runtuh? Satu faktornya adalah komposisi tubuh Gunung Anak Krakatau sendiri. Dengan usia geologisnya yang sangat muda, karena baru terbentuk mulai 1930, dan terus tumbuh setiap tahun, tubuh gunung berapi ini praktis belum memadat (unconsolidated). Laksana pasir ditumpuk terus–menerus, pada satu titik keseimbangannya akan hancur untuk kemudian runtuh akibat bobotnya sendiri.
Bila melihat morfologi gunung–gemunung berapi Indonesia, maka runtuhnya salah satu sisi lereng gunung berapi adalah hal yang umum dijumpai. Meski dalam catatan sejarah, Indonesia terakhir kali melihatnya pada 1772 manakala letusan Gunung Papandayan menjebol lereng timur lautnya yang mengubur 40 desa dalam sekejap.
Tsunami Selat Sunda membangkitkan perhatian di Kebumen terlebih hanya berselang beberapa hari pasca isu tsunami yang meresahkan pesisir kabupaten ini. Peristiwa yang sama persis mustahil terjadi karena tidak ada gunung berapi laut di lepas pantai selatan Kebumen. Sementara jika mekanisme sumbernya yang ditinjau, yakni longsoran gigantis daratan yang masuk ke laut, maka peluangnya juga kecil.
Mengapa? Sumber yang mungkin untuk menghasilkan potensi longsoran gigantis hanyalah Pegunungan karst Gombong Selatan. Beberapa bagiannya yang berbatasan dengan laut memiliki lereng curam. Namun pada peta PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), bagian ini dikategorikan beresiko longsor tingkat menengah.
Resiko tersebut ditunjang pula oleh kompaknya tanah pegunungan ini seiring usia geologisnya yang relatif tua hingga jutaan tahun. Kecuali di sisi barat yang berhadapan dengan Teluk Penyu. Sehingga kita bisa lega dan tak khawatir berlebihan akan peristiwa Selat Sunda bakal mbrabah ke pesisir Kebumen. Karena peluangnya kecil.
Namun di atas rasa lega tersebut, mari tetap menjaga kewaspadaan bahwa pesisir Kabupaten Kebumen adalah salah satu kawasan rawan tsunami di Indonesia. Bahkan menjadi kawasan paling rawan tsunami nomor dua se–Jawa setelah kota Cilacap dalam pemeringkatan resiko BNPB (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) di tahun 2012. Karena satu dari setiap 5 penduduk Kebumen tinggal di kawasan pesisir.
Sumber potensi tsunami tersebut adalah zona subduksi Jawa, tempat lempeng oseanik Australia bertemu dengan lempeng Sunda (Eurasia). Zona subduksi ini berjarak 200 km di selatan pesisir Kebumen. Ia terbagi ke dalam tiga segmen dengan panjang masing–masing 200 km.
Sedangkan bilamana ketiga segmen zona suduksi melepaskan energinya secara serentak, akan terjadi gempa megathrust setara Gempa Aceh 2004 yang melimburkan tsunami raksasa ke pesisir selatan pulau Jawa.
Apabila segmen Jawa Tengah Timur yang persis ada di lepas pantai pesisir Kebumen melepaskan energinya, akan terjadi gempa besar setara Gempa Nias 2005 yang melimburkan tsunami lokal merusak ke Kebumen.
Potensi tsunami lokal yang merusak juga terbuka bilamana terjadi gempa tektonik laksana Gempa Pangandaran 2006 yang sumbernya tepat di palung laut. Sebab gempa tipikal itu bisa membuat tebing curam di salah satu sisi palung laut rontok dan longsor gigantik. Longsoran gigantis bawah laut pun bisa memproduksi tsunami.
Takdir geologi telah menempatkan Kabupaten Kebumen berhiaskan pesisir berdataran rendah. Ini menghasilkan sisi positif dan sisi negatifnya sendiri, termasuk dalam resiko hal tsunami. Langkah antisipasi sudah mulai dilakukan, misalnya lewat terwujudnya peta bahaya tsunami dan peta evakuasi tsunami Kabupaten Kebumen.
Peta ini dilengkapi jalur–jalur evakuasi yang telah bertanda, titik–titik TPS (tempat pengungsian sementara) dan TPA (tempat pengungsian akhir) serta prosedur evakuasi di sejumlah lokasi.
Sudahkah desa kita memiliki rencana evakuasi komunal? Sudahkah kita berlatih prosedur evakuasinya secara rutin? Sebab antisipasi tsunami dan bencana alam pada umumnya bukan semata tugas negara. Itu bagian dari kepentingan kita semua, penduduk Kabupaten Kebumen.(*)
Pertanyaannya adalah sudahkah kita warga Kebumen melihat dan mempelajari petanya? Sudahkah kita mengenali jalur dan titik–titik evakuasinya? Sudahkah kita memiliki rencana evakuasi untuk keluarga? Sudahkah sekolah atau kantor kita memiliki rencana evakuasi?
Muh Ma’rufin Sudibyo
Penulis adalah Putra Kebumen, Peneliti Bencana pada Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim