http://tajukonline.com – (13/1/2019) Pemuka agama terkemuka Sudan, Abdul Hai Yousuf, dilarikan keluar masjid setelah ibadah salat Jumat (11/01), waktu setempat, berakhir ricuh.
Pada kejadian di ibu kota Sudan, Khartoum, jemaah masjid Khatim al-Mursaleen memprotes Yousuf yang disebut kerap mendukung kebijakan pemerintah.
Ulama yang sempat menempuh pendidikan di Arab Saudi itu dianggap tak bersedia memimpin protes masyarakat terhadap Omar al-Bashir, presiden Sudan selama 30 tahun terakhir.
Dalam sebuah video yang tersebar di media sosial, seorang jemaah laki-laki terlihat berteriak kepada Yousuf, “Berdiri dan pimpin kami dari masjid ini.”
Massa yang semakin beringas lantas terdengar meneriakkan yel, “Jatuhkan rezim ini.”
Aparat kepolisian lantas menembakkan gas air mata kepada para jemaah masjid yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Selama tiga pekan terakhir, demonstrasi antipemerintah di Sudan telah menewaskan setidaknya 22 orang.
Para demonstran, yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak dan bahan makanan, mendesak Presiden Bashir segera mengakhiri jabatannya.
Apa yang Terjadi di Khartoum?
Sebuah video yang muncul di Facebook memperlihatkan seorang umat di masjid Khatim al-Mursaleen menentang Yousuf.
Yousuf, yang selama ini dikenal mendorong umatnya melakukan aksi solidaritas untuk Gaza dan Suriah, kemudian dilarikan keluar masjid melalui pintu terdekat dari mimbar.
Sebuah video lain menunjukkan jemaah yang terus-menerus menyanyikan yel di depan masjid.
Keaslian video itu belum dapat diverifikasi secara cepat. Namun sebelum ini, Yousuf diketahui meminta pemerintah Sudan mengendalikan kekisruhan yang terjadi.
Merujuk laporan kantor berita Reuters, Jumat kemarin demonstrasi di Khartoum dan Omdurman lebih besar dibandingkan hari-hari sebelumnya. Gelombang protes disebut telah membesar.
Aparat keamanan terlihat mengejar para pengunjuk rasa. Namun belum ada laporan tentang korban luka maupun tewas.
Mengapa Protes Terjadi di Sudan?
Unjuk rasa dimulai sejak 19 Desember lalu, tak lama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga minyak dan roti.
Gelombang protes bereskalasi menjadi desakan agar Presiden Bashir mengundurkan diri. Bashir yang naik ke tampuk kepresidenan melalui kudeta tahun 1989 dinilai keliru mengelola perekonomian Sudan.
Selama 2018 harga sejumlah bahan pokok di Sudan naik dua kali lipat. Di saat yang sama, nilai mata uang negara itu anjlok.
Tiga perempat pendapatan Sudan dari sektor minyak lenyap setelah masyarakat kawasan selatan negara itu memutuskan memisahkan diri dan membentuk Republik Sudan Selatan tahun 2011.
Perekonomian Sudan selama 20 tahun terakhir juga tertekan akibat sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat.
Sanksi yang dicabut Oktober 2017 itu muncul karena AS menuduh Sudan mendukung kelompok teror.
Bagaimanapun, pada 10 Januari lalu, Bashir menyatakan tidak akan mengundurkan diri dari jabatan presiden.
Merujuk konstitusi Sudan, masa kepemimpinan Bashir baru akan berakhir tahun 2020.
“Bagi mereka yang mendambakan kekuasaan, satu-satunya cara adalah melalui kotak suara serta pemilu yang adil dan bebas,” kata Bashir dalam pidato resminya.
Rezim pemerintahan Bashir kerap dituding melanggar hak asasi manusia. Pada tahun 2009 dan 2010, Pengadilan Kriminal Internasional menuduhnya melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Saat itu, surat perintah penangkapan terhadap Bashir telah diterbitkan.