Komitmen Calon Pemimpin dapat Dilihat dari Rekam Jejaknya

Dr Imam Prasojo, Sosiolog dan Akademisi UI ( foto : arief tajuk )

“Untuk mengetahui kualitas dan komitmen calon pemimpin, kita dapat melihat dari rekam jejak (track record) dia sebelumnya” .

http://tajukonline.com – (16/1/2019) Itu kalimat pokok yang disampaikan oleh Dr. Imam Prasojo, sosiolog dan akademisi dari Universitas Indonesia pada saat menjadi narasumber dalam acara Diskusi Publik “Pemilu, Hoax dan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP) di Hotel Pullman Thamrin, Selasa (15/1) kemarin.

Indonesia adalah negara bangsa yang multikultural, dengan lebih dari 700 kelompok etnis dan semua agama besar, lebih dari 50 suku bangsa dan ada 70.611 desa dengan hukum adat yang berbeda-beda.

Bacaan Lainnya

74 tahun silam bangsa yang multikultur ini memproklamasikan kemerdekaannya dan membangun negara di atas perbedaan di bawah panji-panji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa telah menetapkan cita-cita luhur didirikannya negara ini, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Dalam waktu kurang dari dua bulan sejak dibacakannnya teks proklamasi, 17 Agustus 1945, telah dikeluarkan manifesto politik Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ditanda-tangani Wakil Presiden, Drs. Mohammad Hatta  (1 November 1945).

Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa “dalam waktu singkat, kita (bangsa Indonesia) berniat menunjukkan kesetiaan pada prinsip-prinsip demokrasi dengan menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan dasar-dasar konstitusi yang dicanangkan di negeri kita”. Lebih lanjut disebutkan, pemilu yang akan diselenggarakan itu harus “selalu membuka kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan jauh dalam komposisi pemerintahan”. Bahkan, “wakil-wakil rakyat yang terpilih dapat pula membawa perubahan-perubahan konstitutional yang luas”. (Herbert Feith dan Lanse Castles, 1970).

Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History (1992) menyebutkan “The evolutionary process of human ideologies and institutions has come to a conceivable end with the universal triumph of economic and political liberalism. The end of the Cold War has proven the limitations of liberalism’s alternatives, such as monarchy, fascism, and finally communism, all of which Fukuyama claims stumbled over their internal contradictions”.

(Proses evolusi ideologi dan institusi manusia telah berakhir dengan kemenangan universal dari liberalisme ekonomi dan politik. Akhir Perang Dingin telah membuktikan keterbatasan alternatif liberalisme, seperti monarki, fasisme, dan akhirnya komunisme, yang semuanya diklaim Fukuyama tersandung kontradiksi internal mereka).

Fukuyama meyakini bahwa demokrasi liberal dan sistem ekonomi yang berorientasi pada pasar adalah dua hal yang memungkinkan masyarakat modern dapat berjalan. Liberality berarti  berkurangnya kekuatan negara dalam mengatur kehidupan individu dan warga negara yang memungkinkan tiap individu dan warga mengekspresikan kebebasan individu dan memberikan keleluasaan bagi tiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Sementara democracy adalah tumbuhnya kapasitas tiap individu sesungguhnya dalam ikut menentukan bentuk pemerintahan yang diinginkan.

David Held (1987) menyebutnya Democratic Autonomy, “Individuals should be free and equal in the determination of the conditions of their own lives; that is, they should enjoy equal rights (and, accordingly, equal obligations) in the specification of the framework which generates and limits opportunities available to them, so long as they do not deploy this framework to negate the rights of others”.

(Tiap-tiap individu harus bebas dan setara dalam menentukan kehidupannya; yakni mereka dapat menikmati kesetaraan hak (dan juga kewajiban) dalam  kerangka persyaratan yang menjadikan dan membatasi kesempatan-kesempatan yang tersedia bagi mereka, sejauh mereka tidak menyebarkan kerangka ini untuk meniadakan hak-  hak orang lain).

Konstitusi negara Indonesia telah menetapkan kesamaan kedudukan tiap-tiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Juga pada pasal 28 D ayat (1), UUD 1945 Amandemen ke-IV berbunyi : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Untuk menjalankan Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan pemilu untuk untuk membentuk pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintah dengan dukungan birokrasi berfungsi untuk : 1) pertahanan, ketahanan dan keamanan; 2) menyelenggarakan administrasi negara; 3) pembangunan jiwa dan raga seluruh warga negara. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia secara lahir dan batin.

Bangsa Indonesia sudah berpengalaman menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955, baik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif. Sejak era reformasi 1998, bangsa Indonesia mengamanatkan bahwa kepala pemerintahan dari pusat hingga daerah untuk dipilih secara langsung, maka diselenggarakanlah pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Sejak tahun 2004, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung dalam pemilu yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu 2019 adalah yang pertama, dimana eksekutif dan legislatif dipilih secara bersama-sama dalam satu event pemilu. Pemilu 2019 nantinya akan memilih pasangan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta anggota DPD.

Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia pada Pemilu 2019 ini adalah maraknya politisasi dan eksploitasi identitas untuk meraih dukungan suara. Politik Identitas adalah penggunaan kelompok sosial untuk memisahkan/menyatukan atau membatasi /mengintensifkan interaksi dan hubungan antar individu/kelompok dalam rangka mencapai suatu tujuan politik tertentu.

Penggunaan politik identitas berpotensi menjadikan bangsa Indonesia terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok emosional berdasarkan etnis, agama, ras dan suku. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bangsa Indonesia terancam perpecahan dan berbagai konflik sosial yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perkembangan teknologi informasi, dengan munculnya internet dan media sosial, turut mempengaruhi berkembangnya politik identitas yang sengaja dibuat untuk meraih kemenangan kontestan pemilu, khusunya pilpres. Disisi lain, juga marak beredar berita bohong (hoax), kampanye hitam (black campaign) dan ujaran kebencian (hate speech) yang mengiringi penyelenggaraan pemilu 2019.

Banyaknya berita bohong (hoax) dan kampanye hitam (black campaign) menjelang dan selama pilpres 2019 melalui media sosial dipeparah dengan lemahnya daya literasi banga Indonesia saat ini. Berdasarkan survei banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain di dunia. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.

Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.

Indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. (Data statistik UNESCO 2012).

Maraknya peredaran hoaks dan rendahnya daya literasi masyarakat berdampak pada tidak obyektifnya informasi seputar kandidat pemimpin yang diterima masyarakat. Mereka akan salah dalam mengambil keputusan untuk memilih pemimpinnya, baik dalam konteks pemilihan preisiden wakil presiden maupun anggota legislatif. Tentu saja ini bepengaruh terhadap kualitas dan integritas pemimpin yang nantinya dihasilkan.

Dalam jangka panjang, maraknya peredaran beita bohong dan ujaran kebencian akan membentuk budaya bohong di tengah masyarakat dan merenggangkan ikatan persatuan banga Indonesia.

Dibutuhkan kesadaran dan partisipasi seluruh elemen bangsa untuk membendung beredarnya hoaks dan ujaran kebencian agar pemilu 2019 dapat menjadi momen konsolidasi demokrasi bangsa Indonesia menuju masyarakat sipil yang demokratis. Semua komponen bangsa harus secara bersama-sama melakukan gerakan literasi untuk meningkatkan knowledge dalam bermedia sosial.

Pada akhirnya, nasib bangsa yang multikultur dan multi etnis ini ditentukan oleh anak bangsa sendiri dalam menjaga dan merawat kebhinnekaannya, ditentukan oleh kesadaran bahwa pemilu hanya mekanisme lima tahunan untuk memilih pemimpin, bukan semata-mata dia yang sama secara identitas, namun dia yang mampu mengelola dan menjalankan roda pemerintahan membawa negara ini makin sejahtera, berdaulat dan bermartabat.

Kesamaan agama, ras, suku dan golongan tentu bukan alasan rasional untuk menentukan pilihan, namun kapabilitas, kapasitas dan integritas yang tercermin dari track record, pengalaman dan hasil kerja di sebelumnya yang layak dijadikan alasan kita untuk menjatuhkan pilihan.

Salam Redaksi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *