Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu: Jokowi Janji Lagi dan Prabowo yang Luput

Pengundian nomor urut Capres dan Cawapres. ©2018 Liputan6.com/Faizal Fanani

http://tajukonline.com – (17/1/2019) Dalam janji kampanye dan visi misi serta programnya di Pilpres 2014, Jokowi pernah menyatakan komitmennya mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu apabila terpilih menjadi presiden. Sepanjang empat tahun kepemimpinannya, Jokowi tercatat beberapa kali bicara soal penuntasan kasus HAM berat masa lalu.

Dua kali pidatonya di hadapan sidang MPR/DPR/DPD yakni pada Agustus 2015 dan Agustus 2018. Pada 2015, Presiden Jokowi memastikan adanya upaya Pemerintah menuntaskan persoalan politik dan kemanusiaan masa lalu secara cepat dan bijaksana. Pemerintah ingin ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Sedangkan pada 2018, Kepala Negara menyatakan masih berkomitmen terus berupaya mengungkap kasus HAM masa lalu.

Bacaan Lainnya

Setahun menjabat Presiden, Jokowi memunculkan wacana permintaan maaf pemerintah kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab banyak kasus pelanggaran berat HAM sudah diproses tetapi tidak pernah dituntaskan. Pemerintah ingin kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu dianggap selesai melalui non yudisial. Sebab proses yudisial sudah pernah ditempuh tetapi tidak membuahkan hasil.

Setahun kemudian, tepatnya Desember 2016, Jokowi mengundang pimpinan Komnas HAM di Istana Merdeka pada Jumat (9/12) malam. Sejumlah pimpinan Komnas HAM yang hadir adalah Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhamad Imdadun Rahmat, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis, Jimly Asshiddiqie, dan Todung Mulya Lubis. Di situ, Jokowi menyadari pemerintah belum sepenuhnya melindungi HAM dan menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu.

Pada Februari 2017, Jokowi menyatakan sudah menginstruksikan Menko Polhukam Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Baik melalui cara yudisial maupun non yudisial. Tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud adalah Kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis 1998-1999, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985. Sulitnya mencari fakta, bukti dan saksi menjadi alasan Jaksa Agung Prasetyo memilih jalur non yudisial. Keseriusan pemerintahan menuntaskan kasus pelanggaran HAM selalu menjadi catatan penting tahunan di era kepemimpinan Jokowi-JK.

Keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu sempat mendapat angin segar saat Presiden Jokowi menerima kedatangan mereka di Istana Merdeka, Jakarta pada Mei 2018. Dalam pertemuan itu Jokowi ingin mendengarkan permintaan dari keluarga korban. Dua bulan setelah pertemuan itu, Jaksa Agung Prasetyo lagi-lagi beralasan terkendala pengumpulan bukti-bukti dalam penuntasan kasus HAM masa lalu. Tapi kali ini ada alasan lain. Selama ini Kejaksaan hanya bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di atas tahun 2000 karena Undang-undang Nomor 26 tentang pelanggaran HAM baru disahkan pada tahun 2000. Sehingga sulit untuk memperkarai kasus lain yang terjadi jauh sebelum adanya undang-undang tentang pelanggaran HAM.

Ada satu langkah politik diambil Jokowi di 2018. Terbitlah Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019 untuk menjaga asa itu. Bahkan, pemerintah berjanji membentuk tim gabungan untuk penuntasan kasus HAM. Ini disampaikan Wiranto pada Agustus 2018. Komnas HAM, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Kepolisian, TNI serta Kemendagri masuk di dalamnya. Tapi sampai saat ini tim tersebut masih wacana.

Di penghujung 2018 dan awal 2019, publik justru dikejutkan dengan pengembalian sembilan berkas kasus pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Sembilan kasus itu diantaranya Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh dan Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh. Jaksa Agung beralasan, berkas dikembalikan lantaran tidak cukup bukti dan tidak bisa dipaksakan menempuh jalur yudisial. Alasan lain, terkendala UU karena peristiwa pelanggaran HAM terjadi sebelum ada UU itu.

Padahal dalam pertemuan terakhir dengan Presiden Jokowi pada 8 Juni 2018, ada arahan agar kasus-kasus tersebut dimulai proses yudisialnya. Ini merupakan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, dan hasil penyelidikannya diserahkan kepada penyidik (Jaksa Agung). Bahkan ini diperkuat pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pemerintah menugaskan kepolisian, kejaksaan untuk mengusut kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan. Artinya, tidak ada niatan untuk menghentikan kasus tersebut.

Dalam visi misi dan program kerjanya untuk periode kedua, Jokowi kembali berjanji melakukan penegakan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Semua dibalut dalam penegakan sistem hukum. Itu masuk dalam poin ke empat program kerja bidang penegakan hukum. Bunyinya: Melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

“Komitmen penegakan HAM dan penuntasan kasus HAM dari Jokowi sudah terang benderang,” ujar Direktur Konten tim debat Jokowi- Ma’ruf Amin saat berbincang dengan merdeka.com, kemarin.

Jokowi sudah menyiapkan jawaban secara detail jika panelis maupun lawan debatnya menagih janji penuntasan kasus HAM masa lalu yang pernah diutarakan saat kampanye Pilpres lima tahun lalu. Selama empat tahun kepemimpinannya, Jokowi disebut sudah menjalankan janjinya menuntaskan luka lama bangsa.

“Dari sisi kasus lama rasanya ada progressnya. Ada datanya. Bisa dan akan dibuka progress penyelesaiannya,” tegasnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga akan menyampaikan komitmennya lagi untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu. Komitmen ini sudah ada dalam programnya bersama Ma’ruf Amin. Namun yang perlu diingat, komitmen Jokowi harus seiring sejalan dengan komitmen dari lembaga penegak hukum.

“Kalau kasus per kasus, orang per orang, dari sisi proses hukum, ini bukan hanya ranah eksekutif, ada yudikatif. Ini yang tidak serta merta Presiden bisa intervensi,” ucapnya.

Baik Jokowi maupun Ma’ruf Amin akan mempertajam langkah yang diambil dalam penuntasan kasus HAM masa lalu. Termasuk kemungkinan penyelesaian dengan jalur non yudisial. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Arsul Sani mengakui penuntasan kasus pelanggaran HAM masih jadi utang pemerintahan Jokowi-JK. Namun dia memastikan utang tersebut bakal dibayar tuntas di periode kedua Jokowi. Ini yang akan dikedepankan. Salah satu cara penuntasannya dengan pendekatan non yudisial. Karena, jika dipaksakan melalui jalur yudisial, proses pembuktiannya yang sulit. Apalagi kasus yang terjadi rentan waktu yang sudah sangat lama. Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 ini sudah menyusun rencana aksi program untuk penuntasan kasus ini. Rencana ini akan disampaikan dalam debat.

“Karena itu harus ada keberanian untuk alternatif, sudah kita dorong penyelesaian non yudisial. Jadi diskursusnya ada di situ, apa yang akan ditempuh dan bagaimana harus melangkah,” kata Arsul.

Yang dipertanyakan justru komitmen pasangan capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. “saya sih tidak meragukan, faktanya saja, tidak ada (program penuntasan kasus HAM). Kita jadi ingin dengar program konkretnya,” kata Fiki.

Dalam dokumen visi misi serta program pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga yang sudah direvisi, disebutkan beberapa program terkait penegakan HAM yang akan dijalankan. Tapi tidak ada satupun yang menyinggung penuntasan kasus HAM masa lalu. Titik berat dari program penegakan HAM pasangan Prabowo dan Sandiaga adalah menghapus praktik diskriminasi, menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di muka umum hingga penghentian ancaman persekusi terhadap individu, organisasi maupun kelompok.

Meski tak ada dalam program tertulis, pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. salah satunya terkait orang hilang dan penghilangan paksa aktivis. Ini untuk menjawab tudingan yang selama ini kerap dikaitkan dengan sosok Prabowo Subianto atas dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Terutama pada kasus penghilangan paksa aktivis saat kerusuhan 1998.

“Ya bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Kemudian kasus-kasus terkait orang hilang. Sekarang kan sudah ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang diberikan kepada Kejaksaan Agung diberikan kepada komnas HAM. Tapi kan belum ditindak lanjuti,” kata Juru Bicara Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Nasir Djamil.

Anggota Komisi III DPR RI itu menegaskan, salah satu referensi Prabowo-Sandi menyelesaikan HAM ke depan yaitu lewat pengadilan HAM Ad Hoc. “Ya kita lihat nanti apakah kemudian ada pengadilan pengadilan Ad hoc HAM soal ini,” ucapnya.

Hal senada diungkapkan Didi Irawadi. Dia menegaskan komitmen Prabowo dan Sandiaga Uno untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Jokowi-JK. Seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, hingga yang teranyar kasus teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang hampir dua tahun tak kunjung tuntas.

“Mendukung penuh diusut dan diproses hukum para pelakunya hingga tuntas. Ini jelas kasus kriminal dan pelanggaran HAM berat,” tegas Didi.

(mdk/noe)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Klo sd begini Ya “JARNO WAE BEN MATI MATI DEWE” Ya..”BIARKAN SAJA NANTI MATI MATI SENDIRI” itu pantas utk pelaku pelanggaran HAM utk generasi baru Mari kita hidup lebih bijak.