Soal Chief Law Enforcement Officer, Akademisi Sebut Prabowo Tidak Paham Sistem Ketatanegaraan Indonesia

http://tajukonline.com – (20/1/2019) Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto tidak memahami secara tepat sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Bayu, Prabowo keliru dengan menyebutkan Presiden sebagai chief law enforcement officer‭ atau petugas ‭penegak hukum‭ yang‭ tertinggi.

“Terkait pernyataan paslon 02 Prabowo- Sandi dalam debat perdana yaitu presiden merupakan chief of law enforcement officer‭ yaitu ‬petugas ‭‬penegak hukum‭ yang‭ ‬tertinggi ‭di negara ‭merupakan pemahaman yang tidak tepat atas sistem ketatanegaraan Indonesia,” kata Bayu di Jakarta, Jumat (18/1).

Bacaan Lainnya

Bayu mengatakan patut dipahami secara sederhana bahwa lembaga-lembaga negara dibagi atas lembaga yang berwenang membentuk hukum dalam hal ini undang-undang atau legislatif, lembaga yang melaksanakan undang-undang dan menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan di masyarakat atau eksekutif, dan lembaga yang menegakkan undang-undang dalam hal ada seseorang, kelompok orang, atau badan hukum yang melanggarnya atau yudikatif. ‬

‭Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial seperti yang dianut oleh Indonesia, kata Bayu adalah kepala pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan di bidang eksekutif. Menurut dia, presiden tidak boleh mencampuri kekuasaan di bidang yudikatif yang dilaksanakan oleh badan peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Presiden tidak boleh mencampuri pelaksanaan tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh badan yudikatif karena kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dijamin sebagai kekuasaan yang merdeka dan harus bebas dari campur tangan kekuasaan manapun termasuk dari Presiden sekalipun,” tandasnya.

Dia menuturkan presiden tidak boleh mencampuri kekuasaan yudikatif. Pasalnya, sangat dimungkinkan presiden beserta jajaran di bawahnya menjadi pihak yang bersengketa di pengadilan melawan masyarakat atau badan hukum tertentu.

“Untuk itu badan peradilan harus dijamin kemerdekaan agar dalam memberikan putusan tidak berada dalam ancaman pihak manapun dan dapat independen dalam membuat keputusan,” ungkap dia.

‭Jika kemudian ada anggapan Presiden adalah‬ petugas ‭penegak hukum‭ ‬yang tertinggi ‭di negara karena Presiden membawahi Polri dan Kejaksaan RI, maka kata Bayu, perlu diingat bahwa UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Polri dan UU Kejaksaan telah memberikan jaminan bahwa lembaga tersebut dalam menjalankan tugas penegakan hukum tetap harus bebas dari campur tangan Presiden.

“Jadi, sistem penegakan hukum terpadu harus bebas dari segala kepentingan orang perorangan termasuk kepentingan Presiden dan jajarannya. Bahkan KUHAP menjamin jika kepolisian atau kejaksaan dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terindikasikan mengalami intervensi seperti menetapkan tersangka tanpa dasar yang kuat atau sebaliknya menghentikan penyidikan atau menghentikan penuntutan perkara maka pihak yang dirugikan bisa membawanya ke pra peradilan yang akan diperiksa oleh pengadilan,” jelas dia.

Lebih lanjut, Bayu mengatakan jika presiden ingin meningkatkan kualitas penegakan hukum agar berkeadilan dan mampu memenuhi harapan masyarakat, maka sebenarnya presiden memiliki kewenangan strategis yaitu memilih pimpinan di kepolisian dan kejaksaan agar diisi figur yang berintegritas dan cakap dalam melaksanakan tugasnya.

“Artinya jika pimpinan kepolisian dan kejaksaan dianggap presiden tidak cakap lagi dalam menjalankan tugas melakukan penegakan hukum yang berkeadilan sebagaimana harapan masyarakat maka sesuai mekanisme yang berlaku presiden diberikan kewenangan untuk menggantinya dengan figur yang lebih cakap,” pungkas dia. (julius tajuk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *