Seperti Radiator Springs, Kota di Pantura Mulai Terlupakan

Foto: Rifkianto Nugroho

http://tajukonline.com – (13/2/2019) Radiator Springs adalah kota tua yang pernah menjadi tempat singgah populer di sepanjang Route 66. Popularitas itu kini sirna setelah adanya jalan baru bebas hambatan antar negara. Kota itu kini sepi dan seakan lenyap dari peta.

Ya, Radiator Springs hanya kota fiksi dalam film animasi Cars. Namun jika dirasa-rasa, nasib kota fiksi itu mirip dengan kota-kota di sepanjang jalur Pantura.

Bacaan Lainnya

Dulu, Jalan Pantura ibarat sungai yang memberikan penghidupan terhadap kota maupun kabupaten yang dilaluinya. Nama kota Cirebon, Brebes, Tegal, dan kota lainnya di Jalur Pantura dulu juga begitu dikenal.

Namun ketenaran itu kini mulai pudar. Banyak yang bilang hal itu disebabkan adanya Tol Trans Jawa. Jalan bebas hambatan yang tersambung dari Jakarta hingga Surabaya itu baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2019.

menelusuri Jalur Pantura dari Semarang hingga Jakarta. Sesaat meninggalkan kota Semarang dan masuk wilayah Kendal, kendaraaan pribadi mulai jarang ditemui.

Mayoritas yang melintas di Jalur Pantura dari Kendal hingga Weleri kebanyakan adalah kendaraan besar. Belakangan juga muncul isu bahwa para supir truk lebih memilih Pantura lantaran Tarif Tol Trans Jawa terlampau mahal.

Tempat singgah, toko, hingga tempat makan di pinggir jalan terlihat sepi. Di Kendal malah kebanyakan kendaraan truk yang berjejer parkir di pinggir jalan.

“Kami memang tidak lewat tol, dari Weleri kami keluar dan lewat jalur pantura,” kata Edy salah satu supir truk.

Sesampainya di Subah, Kabupaten Batang, Tim Detikcom berhenti untuk beristirahat. Kebetulan di pinggir jalan saat itu hanya ada beberapa warung makan sederhana, kami menghampiri salah satunya.

Mini, si pemilik warung terlihat sedang merapihkan piring bekas pelanggannya. Kebetulan saat itu ada dua pengendara sepeda motor yang habis makan di warungnya.

Ketika ditanya bagaimana kondisi bisnis kecilnya itu, Mini langsung menumpahkan curahan hatinya. ‘Sepi’ kata pertama yang terlontar dari mulutnya.

“Sepi begini sudah sejak Natal kemarin. Ya sejak tol diresmikan,” ujarnya.

Warung Mini yang hanya menjual ayam, bebek dan lele goreng itu memang bukan rumah makan besar yang biasa menjadi persinggahan kendaraan pribadi maupun bis antar kota.

Warungnya yang menyediakan bale kayu, dulu sering disingahi oleh para supir untuk istirahat sekaigus mengisi perut. Kini pelanggannya hanya para pelintas yang menggunakan sepeda motor.

“Biasanya saya bisa jual 4 ekor bebek dan 6 ekor ayam per hari. Sekarang hanya 2 ekor bebek dan 3 ayam. Tapi ya sudah, jalanin aja enggak usah ngeluh,” ujar wanita lansia itu.

Tapi kabarnya supir truk lebih memilih jalur Pantura, lalu kemana perginya langganan Ibu Mini? Ternyata di dekat warungnya ada Jembatan Timbang. Demi menghindari Jembatan Timbang, para supir truk lebih memilih untuk masuk Tol Trans Jawa di Gerbang Weleri, kemudian kembali ke Jalur Pantura di sekitar Batang.

Nasib yang sama juga menimpa para pedagang telur asin dan bawang di Brebes. Mereka mengeluhkan anjloknya penjualan semenjak Tol Trans Jawa dibuka.

“Turun jauh banget sejak Desember. Dulu sehari bisa jual 400-500 telur asin, sekarang semenjak ada tol cuma 100-150 telur asin,” kata Oki.

Oki yang berjualan telur dan bawang merah bersama ibunya itu sebenarnya sangat ingin pindah berjualan di rest area Tol Trans Jawa. Tapi apa daya, uang sewa di rest area terlampau mahal baginya.

Tak jauh dari lapak jualan Oki, lapak pedagang telur asing yang tutup. Beberapa lapak masih ada etalase dan kardus packaging telur asin. Namun kondisi lapak begitu berantakan.

Dari banyaknya lapak telur asin yang tutup, masih ada 1 penjual yang bertahan yang bernama Yaji. Saat dijumpai, Yaji tengah bercengkrama dengan anaknya yang masih balita. Saat itu sudah pukul 21.00 WIB, serharusnya anaknya itu sudah tidur.

“Iyah lagi main, kan tidurnya di sini juga, tuh di situ,” ucapnya sambil menunjukan tirai kain yang dibuatnya sendiri.

Tokonya, memang bukan hanya sekedar tempatnya berjualan telur asin, tapi juga tempat tinggal bagi Yaji dengan istri dan anaknya. Tempat tidurnya hanya ditutupi tirai kain. Meski omzetnya merosot jauh, dia tetap bertahan demi membayar toko yang hanya 1 petak itu.

“Ya turun hampir 100%. Dulu sehari saya bisa jual 200-300 telur. Sekarang malah kadang-kadang sehari tidak laku sama sekali. Tapi ya saya tetep jualan, itung-itung buat tempat tidur, yang penting ketutup makan dan bayar kontrakan,” tambahnya.

Yaji, yang dulunya bekerja di kebun, hanya berharap agar Jalur Pantura kembali ramai. Tak penting bagaimana caranya, Yaji hanya ingin telurnya habis terjual.(das/dna)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *