Kata Arafah kini sudah menjadi nama tempat. Namun asal-muasal penamaannya lebih dari hanya sebuah kisah. Ada yang mengatakan bahwa ketika Adam dan Hawa AS diturunkan dari surga, keduanya berpisah tempat.
Ini berdasarkan firman Allah SWT: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama. sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).
Prof Dr M Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam Al-Hajjul Mabrur mengatakan, Adam dan Hawa diturunkan berpisah tempat. Masing-masing mencari teman hidupnya sehingga mereka berjumpa kembali di suatu tempat bernama Arafah atau Arafa. Kisah mengenai Adam dan Hawa serta perjumpaan mereka di Arafah membutuhkan penjelasan.
“Kita membayangkan keadaan Adam dan Hawa yang semula hidup berkasih-kasihan di surga. Semua kebutuhan mereka tersedia secukupnya yang didapat langsung dari Allah SWT. Tapi kini di dunia mereka harus menerima hidup terpisah. Masing-masing mencari kebutuhannya sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,” jelasnya.
Mereka melihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Namun tidak ditemukan seorang pun jua. Kalau sekiranya mereka bertemu dengan seorang manusia lain, tentu mereka akan senang sekali. Apalagi kalau berjumpa dengan teman hidupnya sendiri yang selama ini selalu hidup bersama dengan penuh bahagia di surga.
Mereka berkeliling kesana-kemari mencari teman hidupnya dengan penuh rasa rindu, mengenangkan masa-masa lalu yang indah. Akhirnya, mereka berdua berjumpa di Padang Arafah, dan sejak itulah keduanya tidak pernah berpisah lagi, kecuali oleh maut.
Ada kisah lain yang mengatakan bahwa para malaikat mengingatkan Adam dan Hawa, setelah keduanya diturunkan ke bumi, yakni di Arafah. Ini dimaksudkan agar mereka mengakui dosa-dosanya dan memohon ampunan kepada Allah.
Adam dan Hawa mematuhi nasihat malaikat, seperti yang dipaparkan Alquranul Karim tentang doa, pengakuan dosa dan permohonan ampun mereka: “Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf 23).
Kemudian dikatakan bahwa Adam dan Hawa telah mengetahui (Arafa) dosanya. Mereka juga mengetahui (Arafa) caranya bertaubat. Marilah pula kita simak kisah Ibrahim, bagaimana Allah memberitahukan kepadanya (arrafahu) tempat Arafah itu.
Pada suatu petang ketika tengah tidur, Ibrahim melihat dalam mimpinya ia sedang menyembelih putranya, Ismail.
Sungguh ini merupakan masalah yang amat besar, yang sulit dibayangkan dampaknya bagi jiwa sang bapak terhadap anaknya. Apalagi Ismail adalah anaknya yang cuma semata wayang.
Sungguh perkara yang amat sulit dan berat bila dia harus menyembelih anak satu-satunya itu dengan kedua tangannya sendiri. Karena itulah setelah bermimpi, Ibrahim duduk merenungi pikirannya dengan cermat.
Karena itu Hari Arafah dinamakan pula hari tarwiyah (renungan). Setelah ia yakin bahwa mimpinya benar dan ia harus menyembelih putranya, maka ia menamakan tempat mengetahui hakikat mimpinya itu dengan Arafah.
Ada pula kisah yang mengatakan bahwa Ibrahim AS diberitahu Jibril cara menunaikan manasik haji di tempat ini. Jibril bertanya, “Hal Arafta (tahukah kau)?”
Ibrahim menjawab, “Araftu (aku mengetahuinya).” Dengan demikian, bisa jadi ini berarti bahwa di tempat itu manusia mengenali Rabbnya, dan manusia datang ke tempat itu untuk mengakui dosanya serta untuk memohon ampunan Rabbnya dengan penuh kerendahan.
Walhasil, apa pun asal-muasal penamaan tempat itu Arafah dan kegiatan ibadah pada hari itu dengan Hari Arafah atau Hari Tarwiyah, tapi yang tidak diragukan hari itu merupakan hari yang mulia, yang dibanggakan Allah SWT kepada para hamba-Nya.
Ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya: “Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku itu. Mereka telah meninggalkan semua yang dimilikinya dan mendatangi-Ku dengan kusut dan berdebu, memohon ampunan dan rahmat-Ku. Aku bersaksi dengan kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka…”
Di Arafah kita melihat persamaan yang merata dan keberadaan yang utuh bagi para jamaah haji yang datang ke Baitullah Al-Haram. Tidak seorang pun yang tersisa. Dalam waktu yang sama, mereka mengakhiri wukuf bersamaan dengan terbenamnya matahari di Hari Arafah. Tempat ini merupakan satu-satunya tempat berkumpul manusia dalam keadaan seperti itu dan dalam waktu seperti itu pula.
Kita memasuki Kota Makkah dalam rombongan dan waktu yang berbeda, sesuai dengan kesepakatan rombongan masing-masing. Ada yang masuk dua pekan sebelum haji, ada pula rombongan yang datang satu hari sebelum haji.
Pada waktu pulang pun masing-masing rombongan menetapkan waktunya sendiri, sesuai dengan kesepakatan rombongan. Yang tinggal di Makkah pun berbeda-beda juga sesuai dengan kemampuannya.
Ada yang tinggal di hotel mewah, dan ada pula yang tinggal di gubuk yang murah. Bahkan ada juga yang tidur beralas pasir, sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing.
Sumber : Republika Online