MENGURAI BENANG KUSUT KONFLIK URUT SEWU

Peserta unjuk rasa membentangkan poster menolak pemagaran di Urut Sewu. (foto : dok tajuk)

Beberapa hari ini wilayah Urut Sewu khususnya desa Setrojenar dan Brecong, Kecamatan Buluspesantren kembali memanas. Hal ini dipicu oleh dilanjutkannnya pembangunan pagar pembatas oleh pemerintah dalam hal TNI AD di dua desa tersebut.

Bupati Kebumen, KH Yazid Mahfudz di dahapan peserta unjuk rasa. (foto : dok tajuk)

Sebagai putra daerah yang lahir besar dan tumbuh berkembang di Setrojenar, saya memiliki pandangan yang mungkin bisa menjadi solusi alternatif bagi para pemegang kebijakan di Kebumen khususnya dan Jawa Tengah secara umum.

Bacaan Lainnya

Saya secara pribadi pernah terlibat langsung dalam upaya menyelesaikan persoalan Urut Sewu. Saya pernah berkirim surat kepada Pangdam IV Diponegoro, Gubernur Jawa Tengah, Kepala BPN hingga Presiden Joko Widodo. Saya juga melakukan audiensi dengan Bupati Kebumen Buyar Winarso dan Pangdam IV Mayjend TNI Sunindyo waktu itu.

Ada beberapa prinsip dasar yang saya gunakan untuk memotret konflik Urut Sewu. Pertama perspektif atau cara pandang, kedua identifikasi masalah, dan ketiga pemecahan.

1. Perspektif

Perwakilan peserta unjuk rasa diterima Bupati Kebumen, KH Yazid Mahfudz. (foto : dok tajuk)

Saya melihatnya sejatinya persoalan Urut Sewu sangat sederhana dan mudah untuk diselesaikan. Perspektif yang saya gunakan adalah pendekatan yuridis hukum, bukan sejarah atau sosiologi. Karena hukum bersifat tegas, pasti dan mengikat, sehingga persoalan dapat selesai secara permanen.

Dari sini akan muncul kejelasan pihak-pihak yang berkonflik dan perkara yang menjadi sebab terjadinya konflik. Kejelasan ini diperlukan untuk melokalisir masalah sehingga tidak menyebar pada pihak lain yang sesungguhnya tidak berkepentingan, dan membatasi hanya pada masalah pokok saja.

Saya berpandangan, kita tidak menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologi dalam melihat konflik Urut Sewu, karena sejarah itu persepsi dan klaim, sementara sosiologi menimbulkan perbedaan penafsiran dan bersifat non ecxact.

Di sisi lain, Urut Sewu tidak ada sejarah konflik, paling tidak sejak republik ini berdiri. Dan sejak saya kecil, masyarakat dan TNI hidup harmonis saling berdampingan. Catatan konflik terjadi pada satu dekade terakhir ini saja, puncaknya adalah 16 April 2011 dengan adanya bentrokan antara beberapa warga Setrojenar dengan TNI.

Selama sepuluh tahun ini, konflik Urut Sewu tidak pernah terselesaikan, atau tepatnya tidak ada niat untuk menyelesaikan. Persoalan makin rumit dengan masuknya kepentingan politik, ekonomi dan terlibatnya beberapa orang serta LSM dari luar Setrojenar.

2. Identifikasi Masalah

Bupati Kebumen, KH Yazid Mahfudz nampak berdiri di hadapan perwakilan perserta unjuk rasa. (foto : dok tajuk)

Jika kita ingin sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan Urut Sewu, maka harus dimulai dari identifikasi masalah. Temukan dulu sumber penyakitnya baru mencari obatnya. Secara pribadi saya membatasi masalah Urut Sewu pada tiga hal, pertama Status Kepemilikan Tanah, kedua Latihan TNI dan ketiga pemagaran.

Ketiga masalah diatas harus diperjelas terlebih dahulu, tidak perlu melebar pada persoalan lain yang bukan pokok, seperti isu penambangan pasir besi.

Jadi mari kita batasi persoalan Urut Sewu hanya pada 3 hal diatas, untuk dicari penyelesaiannya secara yuridis sehingga bersifat final dan mengikat kepada para pihak yang berkonflik.

3. Pemecahan Masalah

3.a. Status Kepemilikan Tanah

Sampul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. (foto : dok tajuk)

Ini yang sejatinya menjadi inti pokok persoalan Urut Sewu, dan juga konflik di beberapa tempat antara warga dengan pemerintah dalam hal ini TNI. Padahal persoalan sengketa tanah itu mudah dan sangat sederhana. Ada peraturan perundangan yang menjadi payung hukum, ada lembaga yang berkompeten mengeluarkan fatwa, yaitu badan Pertanahan Nasional (BPN) dan ada pengadilan yang membuat keputusan.

Di dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan peraturan di bawahnya diatur secara jelas tentang hak atas tanah. Hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna, hak gadai, hak sewa, hak pemanfaatan dan sebagainya. Di Indonesia hak milik atas tanah hanya pada individu atau orang, sementara badan atau institusi hanya hak guna atau hak pakai.

Dalam konteks Urut Sewu harus ada kepastian obyek tanah yang menjadi sengketa, baik lokasinya maupun luasnya. Kemudian langkah berikutnya adalah melihat pada data BPN, obyek tanah yang menjadi sengketa terdaftar atas nama siapa.

Masing-masing pihak yang bersengketa menunjukkan bukti hak atas tanah, yaitu sertipikat asli bukan foto copy. SPPT bukan bukti kepemilikan, sehingga meski rutin membayar pajak, tidak otomatis dia pemilik tanah.

Karena Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif, maka meski sudah bersertipikat, status tanah masih dapat digugat, dengan catatan belum kedaluwarsa (5 tahun) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Nah, disinilah tugas BPN sebagai satu-satunya institusi yang berwenang atas pertanahan untuk mengeluarkan fatwanya. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas fatwa BPN, dia berhak mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri.

Keputusan pengadilan hingga jenjang ke atas ini bersifat final dan mengikat. Dan harus dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa. Dalam konteks Urut Sewu adalah pemilik sertifikat atau nama yang terdaftar sebagai pemilik. Orang lain, apalagi LSM bukanlah pihak yang bersengketa, sehingga tidak perlu memperkeruh suasana.

Para pihak yang bersengketa dapat meminta bantuan pengacara dengan surat kuasa bukan dengan unjuk rasa.

Jika sudah jelas kepemilikannya misalnya pengadilan memutuskan tanah tersebut milik warga, dan negara merasa perlu untuk kepentingan latihan maka tinggal dicari teknisnya, dibebaskan atau disewa. Namun jika sebaliknya, pengadilan memutuskan yang berhak adalah TNI, maka pihak warga harus menerima.

3.b. Latihan dan Uji Coba TNI AD

Latihan dan uji coba senjata TNI AD di pesisir Urut Sewu. (foto : dok tajuk)

Ini adalah persoalan kedua yang sejatinya tidak ada hubungannya dengan persoalan sengketa tanah. Latihan tentara adalah kebijakan internal institusi TNI, mau kapan, dimana, berapa lama dan sebagainya adalah urusan TNI.

Sudah selayaknya dan seharusnya para tentara berlatih agar selalu siap mempertahankan kedaulatan negara. Dan hal yang wajar jika alutsista itu diujicobakan agar familiar ketika digunakan. Adalah hal yang ngawur jika ada orang melarang tentara latihan dan uji coba alutsista.

Pemerintah dalam hal ini TNI tentu akan mengatur kapan, dimana, berapa lama dan melibatkan siapa latihan itu. Jika di lahan negara/TNI maka itu menjadi urusan mereka. Jika di lahan bukan milik negara/TNI maka pasti ada aturannya. Tinggal disepakati model kerjasamanya.

Sekali lagi, jangan mencampuradukan masalah sengketa tanah dengan latihan tentara dan ucob alutsista.

3.c. Pemagaran

Pemagaran di lokasi lapangan tembak dan latihan uji coba senjata TNI AD di Urut Sewu. (foto : dok tajuk)

Pemagaran adalah persoalan ketiga yang membuat masalah makin rumit dan kompleks. Pemerintah tidak mungkin gegabah dengan mengalokasikan dana dari APBN jika persoalannya belum jelas. Maka perlu dipastikan, apakah pemagaran ini keputusan pemerintah atau kebijakan internal institusi TNI.

Jika pemagaran ini adalah keputusan pemerintah maka yang bertanggung jawab adalah pemerintah dan DPR pada saat penetapan anggaran. Jika kebijakan internal TNI, mungkin bisa dilakukan peninjauan dari sisi urgensinya. Mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya.

Pemagaran seharusnya dibicarakan ketika persoalan status kepemilikan tanah sudah selesai, sehingga tidak ada klaim bahwa pagar tersebut dibangun diatas tanah milik warga. Hanya saja, jika sudah menjadi keputusan pemerintah maka harus dilaksanakan, dengan kemungkinan dibongkar jika ada perubahan kepemilikan berdasarkan keputusan pengadilan.

Itulah tiga prinsip untuk mengurai benang kusut konflik Urut Sewu. Sengaja saya tidak memasukkan isu penambangan pasir besi, karena hal tersebut lebih kental nuansa hoaks-nya dan bersifat politis. Ada peraturan dan ruang khusus untuk membahas soal eksplorasi dan penambangan.

Semoga sekelumit ini bisa menjadi bahan masukan dan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah Urut Sewu, khususnya Setrojenar.

Salam GBK – Gerakan Bangkit Kebumen

Setrojenar – Kebumen, 14 September 2019

Arif Yuswandono

(penulis adalah putra asli dan warga Setrojenar, Buluspesantren, Kebumen)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. uraian tsb cukup detail menurut saya,
    Tapi bagemana dgn ini sy pernah dengar tapi tdk tahu sumber hukumnya yg pasti, apa iya ada aturan bahwa dalam jarak 500meter dari bibir pantai selatan ke utara adalah tanah milik TNI…?