http://tajukonline.com – (14/12/2019) Mendikbud Nadiem Makarim menceritakan kisahnya yang membuang naskah pidato yang telah disiapkan untuknya. Sejatinya naskah itu akan dibacakan Nadiem saat berpidato dalam pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro.
Cerita itu disampaikan Nadiem kemarin, Rabu (4/12), di pelantikan Rektor UI di Balai Purnomo, kampus UI, Depok. Nadiem mengaku memilih membuang naskah pidatonya untuk berbicara perihal prioritas Kemendikbud lima tahun ke depan.
“Yang terhormat Bapak-Ibu yang hebat di depan saya, terutama Bu Ani (Menkeu Sri Mulyani), terima kasih sudah mengundang saya di sini. Saya seperti Prof Ari, ada naskah pidato langsung saya buang karena saya ingin gunakan kesempatan untuk menjadi sesi kerja pertama selama lima tahun ke depan,” kata Nadiem disambut tepuk tangan hadirin.
Berikut pidato lengkap Nadiem tersebut:
Yang terhormat Bapak-Ibu yang hebat di depan saya, terutama Bu Ani (Menkeu Sri Mulyani), terima kasih sudah mengundang saya di sini. Saya seperti Prof Ari, ada naskah pidato langsung saya buang karena saya ingin gunakan kesempatan untuk menjadi sesi kerja pertama selama lima tahun ke depan. Pertama, saya harus bilang bahwa saya bukan alumni UI. Tapi orang tua saya, bapak, ibu, dan seluruh keluarga saya om-om dan tante semua, eksklusif alumni UI. Jadi saya sebenarnya produk UI juga dan saya merasa tidak bisa mencapai seperti ini kalau tanpa UI. Jadinya ini sesuatu yang spesial saya bisa hadir di sini.
Pertama, saya ingin ucapkan kepada Prof Anis ya, terima kasih untuk semua dampak positif yang terjadi telah terjadi dalam 5 tahun sebelumnya. Seperti pencapaian di QS Ranking meningkat. Tapi yang terutama buat saya, yang paling membanggakan adalah fintech-nya dari times ‘hire’ education award. Itu buat saya bukan ranking, tapi dampak terhadap sustainable development, terima kasih ya, Prof.
Teknologi akan semakin cepat rumit dan tidak bisa diprediksi. Hal-hal yang tadinya simpel menjadi tidak simpel. Pada saat ini arah Presiden, SDM unggul, ini harus diterjemahkan secara konsisten, bukan hanya kementerian, bukan hanya kepada para perguruan tinggi dosen dan mahasiswa, tapi seluruh masyarakat. Salah satu mentor saya pernah bilang sama saya, semua bisa menjadi prioritas. Artinya, tidak ada prioritas. Jadi saya di sini saya akan memberitahukan prioritas di pendidikan di Kementerian sama yang dibilang Presiden, yaitu SDM unggul.
Kalau menganalisis apa dampak terbesar yang bisa dilakukan meningkatkan SDM unggul itu, simpel, jawabannya adalah pencetakan pemimpin-pemimpin masa depan, artinya mahasiswanya. Jadi Bapak-Ibu, pertama adalah menyadari bahwa prioritas utama adalah proses penggunaan, pembelajaran, dan pencetakan karakter mahasiswa di dalam perguruan tinggi. Lima tahun ke depan adalah prioritas nomor satu adalah ada satu mahasiswa yang keluar dia bisa apa, sukses apa, dan karakter seperti agar semua keputusan mengenai dosen, anggaran, regulasi, kelembagaan, semuanya harus dijauhkan dari, apa dampaknya kepada mahasiswa. Kita, memang, selama ini universitas dikejar hampir seratus hal yang berbeda untuk negara ini. Tapi lima tahun ke depan mencetak pemimpin masa depan, itu prioritas saya.
Kedua, kita masuk di era di mana hal-hal yang sifatnya kemarin formal dan memberikan suatu proksi daripada kualitas yang sekarang harus kita pertanyakan. Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu, kita masuk era di mana masuk kelas tidak menjamin belajar. Ini hal-hal yang harus segera disadari, harus segera akui dan kalau tidak bisa bicara terbuka mengenai isu-isu ini dan tidak bisa meningkatkan kualitas di dalam pembelajaran perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah, ini yang harus kita challenges.
Interpretasi Kemendikbud terhadap visi Presiden adalah dua hal. Satu adalah merdeka belajar, kedua adalah guru penggerak. Di sini kata guru disubstitusikan dosen.
Kemerdekaan belajar itu apa artinya, kemerdekaan belajar itu artinya kemerdekaan di setiap jenjang unit pendidikan. Kita memasuki paradigma baru di mana pemerintah akan memilih memberikan kepada institusi-institusi pendidikan, memberi kepercayaan, memberi kebebasan, memberikan otonomi. Tapi dalam era ini ekspektasi saya adalah kemerdekaan itu harus turun terus. Lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratisasi dan birokrasi para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Dan yang terpenting mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar sesuai kemauannya sesuai kemampuannya, sesuai interest dia. Lima tahun ke depan nggak akan nyaman sama sekali untuk berbagai macam institusi pendidikan. Tapi kalau mau perguruan tinggi kita makin relevan kita harus lakukan perubahan ini.
Kalau Bapak-Ibu lalukan analisis prodi dan karier, mohon dikaji. Pasti kita semua tahu jawabannya, nggak jelas. Contoh saya ambil HI S1-nya, tapi saya ambil teknologi. Artinya, apa yang kita pelajari, apa pun yang kita lakukan, itu sering kali hanya starting point kita. Lalu kenapa kita tidak memberi kemerdekaan mahasiswa kita untuk melakukan berbagai macam hal di luar prodi, di luar kelas, di luar kampus. Inilah namanya kemerdekaan mahasiswa.
Kedua adalah mengubah paradigma. Dosen menggurui, dosen memberikan ceramah. Dosen memiliki informasi dan memberikannya kepada mahasiswa, menjadi dosen yang memfasilitasi pembelajarnya mahasiswa.
Di pidato saya, saya mention guru penggerak. Intinya, dosen penggerak itu hampir sama kaya guru. Dosen penggerak kalau melihat anaknya punya kapabilitas melampauinya dia merasa bangga, bukan terancam. Dosen penggerak akan lebih banyak belajar dan menanyakan pertanyaan dari mahasiswanya daripada dia memberikan ceramah mengenai ilmunya. Dosen penggerak akan mencari ilmu baru secara otomatis dan akan mencari orang-orang lain untuk meningkatkan pembelajarannya kelasnya. Dosen penggerak akan merekam ceramahnya sebelumnya, dia nggak akan buang-buang waktu di kelas, sehingga di kelas dia diskusi atau belajar kelompok.
Dosen penggerak akan mengerjakan berbagai macam proyek di luar, tapi melibatkan mahasiswanya agar mereka mendapat pengalaman yang berbeda. Nggak semua setuju dengan ini tapi kalau kita menanyakan diri kita satu pertanyaan ini. Apakah setiap jam mahasiswa di kampus UI relevan untuk masa depannya atau tidak. Kalau kita tanyakan itu dalam semua jenis aktivitas kita, saya rasa kita tidak hanya akan jadi salah satu yang terbaik dia Asia Tenggara. Tapi UI bisa jadi unggul di panggung dunia.
(mae/imk)