( Reflekasi HUT Bhayangkara Ke-76 )
Oleh : Dr. Gatot Eddy Pramono, M.Si
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) termasuk institusi negara yang paling dinamis dan strategis. Model organisasi kepolisian terus mengalami perubahan seiring perkembangan jaman dan dinamika sosial politik, baik lokal maupun global. Namun ada doktrin yang selalu tetap dan universal, bahwa polisi memiliki tugas pokok melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Bersama masyarakat mewujudkan suatu kehidupan yang beradab, bermartabat dan terbuka kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan serta kemuliaan.
Dalam kehidupan manusia modern kita mengenal istilah kota (polis, civic madina) dalam konotasi positif berarti keberadaban (civility), kemuliaan (nobility) dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata “poli” (polite), yang berarti tertib sosial, santun berkeadaban. Jadi secara universal, keberadaan polisi adalah untuk menjaga ketertiban, keteraturan dan keamanan sebagai ciri kehidupan yang beradab.
Sejatinya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) lahir bersamaan dengan lahirnya negeri ini, yaitu ketika Sukarno – Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Hanya saja secara resmi ditulis, Polri lahir empat hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, ketika Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamirkan Pasukan Polisi Republik Indonesia. Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Kemudian pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang pertama. Sementara tanggal 1 Juli, diperingati sebagai Hari Bhayangkara bukan hari lahirnya Polri. Penetapan Hari Bhayangkara ditandai dengan terbitnya Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 pada tanggal 1 Juli 1946 yang ditandatangani Presiden Sukarno.
Sebelumnya, kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN) dan hanya bertanggung jawab atas masalah administrasi, sedangkan untuk masalah operasional berada di bawah wewenang Jaksa Agung.
Setelah Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 diterapkan, kepolisian bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri terhitung sejak 1 Juli 1946.
Melintasi Jaman dengan Kesetiaan
Nama Bhayangkara sudah dikenal sejak era Kerajaan Singasari, sebelum jaman Kerajaan Majapahit, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang dalam Kitab Negarakertagama disebut bertakhta sejak 1254 hingga 1292 Masehi.
Namun, dalam riwayatnya nanti, Bhayangkara justru lekat dengan sosok Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada mengawali kariernya pada 1313 sebagai prajurit, kemudian ditunjuk sebagai bekel atau komandan Bhayangkara, pasukan elite pengawal raja. Di bawah komando Gajah Mada, Bhayangkara semakin kuat dan solid.
Ia menanamkan empat prinsip yang disebut Catur Prasetya kepada para personil Bhayangkara. Dikutip dari Sejarah Kepolisian di Indonesia (1999) buku terbitan Polri, Catur Prasetya kemudian diadaptasi sebagai salah satu Landasan Kerja Kepolisian yang diresmikan pada tanggal 4 April 1961.
Bunyi dari Catur Prasetya yang dirumuskan Gajah Mada itu antara lain: Satya Haprabu (setia kepada pemimpin negara), Hanyaken Musuh (mengenyahkan musuh-musuh negara), Gineung Pratidina l (mempertahankan negara), dan Tan Satrisna (sepenuh hati dalam bertugas).
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan. Dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Sejak terbentuknya, Polri tidak pernah berpolitik praktis, netral, tidak pernah berkhianat kepada negara dan rakyat serta tidak pernah menentang pemerintah yang sah. Di masa revolusi hingga reformasi, Polri terlibat aktif dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, DI/TII, PKI Muso 1948, Pembebasan Irian Barat, penyatuan dan konflik di Timor Timur, GAM Aceh. Polri bahkan merupakan pasukan terlatih pertama yang sudah terbentuk sejak jaman Jepang dan langsung menyatakan mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Tantangan Transformasi Polri
Institusi Polri terus melakukan pembenahan, secara struktural, operasional dan kultural. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan tugas pokonya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan pemisahan Polri dan ABRI, selanjutnya melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI. Setahun kemudian, keluar TAP MPR No. VI/2000 serta TAP MPR No. VII/MPR 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Kemandirian Polri berada di bawah presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju polisi yang mandiri, bermartabat dan profesional.
Pemisahan ini pun dikuatkan melalui Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ke-2, dimana Polri bertanggung jawab dalam keamanan dan ketertiban sedangkan TNI bertanggung jawab dalam bidang pertahanan.
Pada tanggal 8 Januari 2002, diundangkanlah UU Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Proses transformasi Polri bukan tanpa hambatan dan tantangan.
Ada dua tantangan dalam proses tranformasi menuju sosok polisi modern atau kadang disebut polisi sipil (civilian policing) atau polisi demokratis (democratic policing). Tantangan pertama adalah faktor internal ; tentu bukan perkara mudah untuk mengubah organisasi sebesar Polri.
Ada aspek struktural yang harus disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan jaman, ada aspek operasional yang harus mengkuti perkembangan teknologi dan dinamika sosial.
Berikutnya adalah aspek kultural yang mengakar, dan perlu diperbaiki secara terus menerus. Tantangan kedua dalam proses transformasi Polri adalah faktor eksternal, diantaranya isu Hak Azasi Manusia (HAM), dinamika sosial politik baik lolak maupun global, serta cepatnya laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Polri tentu harus menyelaraskan program transformasinya dengan faktor-faktor tersebut. Isu HAM seringkali nampak berseberangan dengan proses penegakan hukum, sementara tidak jarang kepentingan politik turut mempengaruhi kondisi internal Polri.
Sedangkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi adalah tantangan SDM Polri untuk terus meng-up date kompetensinya.
Setapak Perubahan Menuju Polri Presisi
Gagasan dan konsepsi Polri yang Presisi pertama kali disampaikan Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, dalam Fit and Proper Test di hadapan Komisi III pada tanggal 20 Januari 2021, di mana saat itu dipaparkan tentang 4 transformasi Polri, 16 program prioritas, 51 kegiatan, dan 177 aksi serta dimulai program Presisi setelah Kapolri dilantik 27 Januari 2021.
Konsep Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transaparansi berkeadilan) yang digaungkan Polri saat ini, adalah strategi umum bagi seluruh kepolisian di semua level untuk menjawab segala bentuk kritik publik, dengan mengutamakan cara-cara yang humanis di masyarakat. Dalam satu setengah tahun sejak diterapkan, gagasan program Polri Presisi telah membuahkan hasil yang menggembirakan.
Pada akhir tahun 2021, Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survey yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan publik kepada institusi Polri mengalami peningkatan menjadi 80,2%, tertinggi sejak 8 tahun terakhir.
Lembaga survei lain, Populi Center Survey Institute yang merilis hasil surveinya pada 20 Desember 2021 menyebutkan bahwa Polri meraih tingkat kepuasan tertinggi diantara 5 lembaga penegak hukum di Indonesia. Apresiasi positif juga diterima Polri dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).
Pada akhir tahun 2021 sebanyak 34 unit kerja di lingkungan Polri meraih predikat zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), sementara 4 unit kerja lainnya meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Dalam empat transformasi yang diusung dalam Polri Presisi seluruhnya sudah mencapai hasil maksimal dan akan terus ditingkatkan. Transformasi organisasi saat ini telah mencapai 98,20 persen.
Kemudian, transformasi operasional sebesar 98,78 persen. Lalu, transformasi pelayanan publik 96,59 persen dan transformasi pengawasan telah mencapai target 98,60 persen.
Polri berbeda dengan partai politik (parpol) dan pejabat politik yang menjadikan opini publik sebagai acuan utama dalam bekerja. Bagi parpol dan pejabat politik, opini masyarakat dan pemberitaan media sangat penting, karena akan memperngaruhi popularitas dan elektabilitas.
Sementara Polri bekerja sesuai dengan konstitusi, peraturan perundangan, SOP yang telah ditetapkan dan kode etik profesi. Beberapa tugas pokok Polri yang kemungkinan tidak disukai oleh sebagian masyarakat, yaitu fungsi penegakan hukum, seperti menilang pelanggar lalu lintas, menahan tersangka, hingga memproses pelaku pidana. Fungsi ini berpotensi memunculkan kebencian dan rasa dendam.
Karena kecenderungan orang ingin hidup bebas, serba cepat meski melanggar, bahkan seorang pelaku kejahatan pun ingin bebas, atau setidaknya dihukum seringan-ringannya. Opini dan apresiasi masyarakat adalah bonus tambahan yang menjadi penyemangat bagi anggota kepolisian ketika telah bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Sehingga tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang anggota polisi adalah meningkatkan kemampuan profesionalisme, berintegritas dan disiplin. Oleh karena itu, fokus utama pembenahan internal Polri adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, dimulai dari proses rekrutmen, pendidikan, penempatan jabatan dan pengawasan.
Langkah berikutnya adalah memperkuat fungsi humas (hubungan masyarakat). Untuk menghadapi ancaman disinformasi post-truth, kunci dan counter weapon utamanya juga informasi. Ketika ruang siber dibanjiri oleh informasi yang penuh kebohongan, kepalsuan dan ujaran kebencian yang menebar ketidakpastian, maka banjiri juga ruang siber itu dengan informasi yang akurat. (Budi Gunawan, 2021).
Masyarakat perlu mendapat asupan informasi yang adil dan berimbang seputar kinerja serta prestasi anggota Polri. Secara internal, Polri harus lebih kreatif dan inovatif dalam membuat berita.
Berbagai platform media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan berita kinerja Polri serta pesan-pesan kamtibmas.
Secara eksternal, Polri juga membangun komunikasi yang harmonis dengan para awak media, organisasi wartawan dan kelompok netizen yang aktif di media sosial. Institusi Polri adalah milik kita bersama bangsa Indonesia, baik anggota kepolisian, pemerintah maupun masyarakat luas.
Menjadi tanggung jawab bersama untuk mewujudkan institusi Polri yang kuat, profesional dan berintegritas. Semoga dengan kesadaran dan partisipasi semua pihak, betul-betul akan terwujud Polri yang Presisi (prediktif, akuntabilitas dakuntabilitas dan tranparansi berkeadilan).
(Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia)