TAJUKONLINE ∏ JAKARTA – Pakar Komukasi Politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi menilai kepatutan berpolitik saat ini kian dianggap tak penting. Demi kekuasaan, keetisan dinomorduakan. “Misal, makin maraknya praktek politik uang dan transaksional di berbagai Pilkada,” kata dia.
Ajang kontestasi politik, seperti pemilihan kepala daerah, harusnya bisa menjadi sebuah instrumen untuk mendidik publik. Sayang, pragmatisme politik, meminggirkan itu.
Politik uang (money politics) dan politik dinasti, kian marak dan kebablasan, bahkan, acapkali tak tahu malu. Alhasil, kontestasi Pilkada pun, tak memberi nilai pendidikan sama sekali. Selain ajang berburu kekuasaan semata.
Sebenarnya, kata Ari, politik dinasti, wajar saja dan memang banyak terjadi di Indonesia bahkan dunia. Asal, nilai kepatutan diajek-kan. Elit, kata dia, jelas bertanggung jawab kepada publik, memberi contoh bagaimana berpolitik dengan patut. Pun partai.
“Tapi, karena nilai kepatutan itu diabaikan, jangan heran bila beberapa tahun lalu ada kasus, sang suami masih mendekam di penjara, karena terlibat kasus korupsi, istri Wali Kota Bekasi, Jawa Barat Mochtar Mohammad masih sempat berlaga di Pilwali Bekasi,” kata Ari.
Bahkan saat ini Mochtar yang telah bebas dari menjalani masa hukuman akan kembali maju berlaga sebagai calon Walikota Bekasi pada ajang Pilkada 2024 November mendatang.
Kisah hampir, terjadi terjadi di Pemilihan Gubernur, Sumatera Selatan. Seperti diketahui, Herman Deru berpasangan dengan Maphilinda Syahrial Oesman. Maphilinda sendiri merupakan istri dari mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman. Syahrial, sendiri, pernah terjerat kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-api. Oleh Pengadilan Tipikor, Syahrial, di vonis 1 tahun penjara. Tapi, saat banding ke Mahkamah Agung, hukumannya ditambah menjadi 3 tahun.
“Tapi itulah, hampir disemua ajang Pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, sang istri seolah-olah “terpanggil” ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik,” kata Ari.
Ari menambahkan, melihat contoh tersebut, telah terjadi distorsi dan anomali politik di era reformasi saat ini. Seolah-olah kebebasan politik yang kian terbuka, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang hanya semata berjuang demi kapitalisasi dan politik dinasti.
“Tidak ada yang salah memang dengan politik dinasti, tapi jika yang dimajukan adalah person-person yang tidak punya kapasitas dan kapabiltas kepemimpinan, sama saja pemilih menyerahkan nasibnya kepada orang yang salah,” kata Ari.
Karena itu, kata dia, pemilih harus mendapat political literasi, berupa pemahaman dan pengenalan terhadap sepak terjang calon kepala daerah. Jangan lagi publik, membeli kucing dalam karung. “Yang kita hendaki sebenarnya kucing Persia, ternyata yang kita dapatkan kucing buduk,”kata Ari.
Ia pun, berharap parpol sebagai institusi pencetak kader agar tidak menyodorkan calon kepala daerah dan wakilnya, yang tidak punya kompetensi. Politik balas budi, politik uang, maupun politik melanggengkan kekuasaan harus dikikis habis.
“Itupun jika kita bersama menghendaki karakter kepemimpinan yang kuat. Jangan lagi ada pameo, kalau calon pemimpin itu bisa diijon karena orang tuanya, suaminya, pernah menjadi Bupati, Gubernur atau ketua umum partai,” kata Ari.
Koordinator Indonesian Budgeting Center (IBC), Arif Nuralam, juga sepakat. Menurut dia, politik dinasti harus di hilangkan. Karena cenderung melahirkan pimpinan yang feodal dan korup. Untuk itu ia setuju, bila RUU Pilkada hendak mengaturnya. “Termasuk suami atau istri atau anak yang terbukti, pernah korupsi, maka tak pantas untuk diusung, karena akan melanggeng dinasti yang korup,” kata Arif.
Karena itu, kata dia, pemerintah dan DPR mesti serius, mengatur hal ini dalam RUU Pilkada. Apalagi IBC mencatatkan, bahwa kepala daerah yang tersandera korupsi terus meningkat. Dan berdampak kepada terlantarnya, pelayanan pubilik.
Sedangkan Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mengatakan, sudah saat Kementerian Dalam Negeri untuk mengeluarkan regulasi tentang tak bolehkannya keluarga untuk jadi kepala daerah lagi. Hal ini membuat demokrasi tidak sehat, jika kepala daerah atau wakil dari keluarga itu-itu saja.
“Biasanya, kalau kepala daerah itu-itu saja, memang hak politik mereka, tapi secara etika tidak baik buat publik. Ada indikasi, memperrtahankan satu keluarga dalam Pilkada, itu biasanya, untuk menghilangkan banyak penyimpangaan kebijakan, termasuk kebijakan anggaran, ” tutur Uchok. (Bimo Tajuk).