Pertanyaan : Bolehkah masyarakat protes dengan menolak atau melarang mantan narapidana koruptor dan keluarganya untuk maju mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah (bupati /walikota /gubernur)? Jika boleh, bagaimana caranya? Kemudian, apa peran dari KPU dalam masalah ini? Apakah ada aturan KPU yang mengatur khusus mengenai ini?
Jawaban oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH. (Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003 – 2008)
Jika ditanya boleh atau tidak masyarakat melarang eks narapidana (“napi”) atau mantan terpidana kasus Tindak Pidana Korupsi (“Tipikor”) dan atau keluarganya untuk maju mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (“Pilkada”) baik sebagai calon bupati, walikota atau gubernur, maka jawabannya boleh saja.
Mengungkapkan protes terhadap eks napi Tipikor yang maju Pilkada adalah kebebasan dan merupakan Hak Asasi Manusia (“HAM”) sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Hak ini juga tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”):
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat boleh melarang, namun peraturan membuka peluang eks napi Tipikor maju di Pilkada. Salah satu alasan hal itu dapat dilakukan adalah apabila telah melampaui waktu 5 tahun sejak eks napi Tipikor itu bebas atau selesai menjalankan masa hukuman penjaranya dan mengemukakan secara transparan ke publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Berikut penjelasannya:
Syarat Khusus bagi Eks Napi Tipikor yang Maju Pilkada
Pada dasarnya, sejumlah syarat bagi setiap warga negara yang ingin mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota telah tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (“UU 10/2016”).
Salah satu syarat tersebut adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.[1]
Patut diperhatikan bahwa ketentuan tersebut telah diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 bahwa ketentuan tersebut konstitusional bersyarat, sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 selengkapnya menjadi berbunyi (64 – 65):
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Mengenai eks napi Tipikor yang mencalonkan diri di Pilkada, Pasal 4 ayat (1) huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (“Peraturan KPU 18/2019”) mengatur khusus sebagai berikut:
bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, secara kumulatif, wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang;
Dokumen-dokumen persyaratan yang wajib diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) provinsi atau KPU kabupaten/kota antara lain adalah sebagai berikut:[2]
- surat dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai eks napi dengan disertai buktinya;
- surat keterangan yang menyatakan bahwa bakal calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang;
- surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga permasyarakatan;
- surat keterangan telah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari kepala lembaga pemasyarakatan, dalam hal bakal calon mendapat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas; dan
- putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Jadi, sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan secara khusus persyaratan yang diterangkan di atas, maka eks napi Tipikor dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Eks Napi Tipikor Masih Punya HAM untuk Menempati Jabatan dalam Pemerintahan
Secara teori, dalam konsep lembaga pemasyarakatan, seseorang yang telah keluar dari penjara merupakan orang yang sudah baik perilakunya. Orang tersebut dianggap menjadi baik kembali.
Hal ini juga sesuai dengan tujuan sistem pemasyarakatan yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi:
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
Akan tetapi, untuk pendidikan publik bahwa pemberantasan korupsi itu penting dan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah itu merupakan jabatan yang memiliki fungsi keteladanan, maka seorang eks napi Tipikor yang ingin maju mencalonkan diri menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah wajib diberikan jeda waktu, seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016.
Yang penting, yang bersangkutan mengumumkan secara transparan mengatakan/mengakui bahwa ia adalah eks napi Tipikor.
Hal ini dianggap adil untuk tidak menutup atau menghabisi HAM seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Hak turut serta dalam pemerintahan ini juga dilindungi oleh Pasal 43 ayat (3) UU HAM dan Pasal 25 huruf a International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) sebagaimana yang telah disahkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Bentuk Penolakan yang Dapat Dilakukan Masyarakat
Bentuk larangan/penolakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat adalah:
- Tidak memilih kepala daerah/wakil kepala daerah yang bersangkutan; atau
- Menyuarakan protes/mengungkapkan pendapatnya.
Tak hanya yang bersangkutan sendiri yang mengaku dan mengungkapkan ke publik secara transparan bahwa dia adalah eks napi Tipikor, ada pula peran Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) Provinsi dan KPU Kabutapan/Kota sebagai penyelenggara Pilkada untuk turut memantaunya dengan mempublikasikan latar belakang eks napi Tipikor di laman (website) KPU, dengan membubuhi catatan kaki atau tanda bintang pada informasi tentang eks napi Tipikor yang mencalonkan diri dalam Pilkada tersebut.
Kewajiban KPU ini tertuang dalam Pasal 103A Peraturan KPU 18/2019 yang berbunyi:
Dalam hal terdapat Calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota yang berstatus sebagai terpidana atas tindak pidana kealpaan atau alasan politik dan Mantan Terpidana, KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota wajib mengumumkan dalam laman dan/atau akun resmi media sosial KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota.
Masyarakat pun boleh menilai kerja KPU dalam hal ini agar tetap turut berpartisipasi dalam memantau transparansi dan performa KPU.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
-
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana telah diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang;
-
Peraturan Komisi Pemilihan Umum 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan diubah yang kedua kalinya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.