KEBUMEN || TAJUKONLINE – JAUH sebelum berstatus kabupaten, sekitar abad ke-17 (tahun 1600-an) Kebumen merupakan sebuah wilayah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta. Saat itu Kebumen masih dikenal dengan nama Panjer.
Mataram Islam merupakan kesultanan besar yang kekuasaannya hampir mendominasi seluruh pulau Jawa.
Hegemoni Mataram Islam di pulau Jawa terusik dengan kedatangan kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berhasil merebut kota Jayakarta dari Kesultanan Banten, dan mengganti namanya menjadi Batavia (sekarang Jakarta).
Markas VOC pun dipindah dari Ambon ke Batavia. Saat itu Batavia belum ditaklukkan Mataram Islam. Namun, Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan kekuasaan Mataram Islam di pulau Jawa. Sultan Agung sangat berambisi mengusir VOC dari Batavia.
Pada tahun 1628, Mataram Islam menyerang Batavia, tetapi menemui kegagalan. Kekalahan ini tidak menyurutkan semangat Sultan Agung untuk kembali menyerang Batavia.
Setahun berikutnya (1629), dengan persiapan yang lebih matang, Sultan Agung dan pasukannya berencana melakukan perjalanan panjang dari Yogyakarta ke Batavia.
Sebelum melakukan “long march”, Sultan Agung terlebih dahulu mengutus bawahannya untuk pergi ke Panjer menemui Ki Bodronolo yang memang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Mataram Islam.
Menurut beberapa sumber, Ki Bodronolo adalah cucu Ki Ageng Mangir, menantu dari Panembahan Senopati yang tidak lain adalah pendiri Mataram Islam.
Ki Bodronolo diperintahkan menyiapkan persediaan pangan bagi pasukan Mataram Islam ketika nanti singgah di Panjer. Ki Bodronolo juga turut serta menangkal pasukan VOC di pesisir Petanahan.
Atas jasa-jasanya tersebut, kelak di kisaran tahun 1642, Ki Bodronolo akan diangkat menjadi pemimpin Panjer, cikal bakal Kabupaten Kebumen. Ki Bodronolo nantinya akan melahirkan trah (keturunan) Kolopaking yang silih berganti memimpin Panjer.
Beralih kembali ke penyerangan Batavia, akhirnya pasukan Sultan Agung berhasil tiba di Batavia pada tanggal 21 Agustus 1629. Akan tetapi, mereka kembali mengalami kekalahan dari VOC. Meskipun mengalami kekalahan, peristiwa penyerangan pasukan Mataram Islam yang kedua ini dipandang sebagai momentum tepat berdirinya Kebumen.
Bantuan Ki Bodronolo dalam memasok kebutuhan pangan pasukan Mataram Islam dianggap penting karena mengandung nilai keteladanan. Merujuk pada persitiwa penyerangan tersebut, tanggal 21 Agustus akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kebumen sejak tahun 2018 silam.
TRAH KOLOPAKING
Lantas dari mana muncul gelar Kolopaking yang sering masyarakat Kebumen dengar? Beberapa tahun kemudian, Mataram Islam telah berganti kepemimpinan. Raja baru tersebut ialah anak Sultan Agung yang memiliki gelar Sultan Amangkurat I. Pada masa kekuasaannya, Sultan Amangkurat I kerap membuat kebijakan yang merugikan kerajaan sehingga muncul banyak pemberontakan.
Salah satu pemberontakan yang terkenal dilakukan oleh Trunojoyo dari Madura. Sultan Amangkurat I terdesak dengan serangan Trunojoyo. Akhirnya Trunojoyo berhasil menguasai Mataram Islam, sedangkan Sultan Amangkurat I melarikan diri ke arah barat sampai tiba di Panjer.
Sesampainya di Panjer, Sultan Amangkurat I jatuh sakit. Kemudian beliau ditolong oleh pemimpin Panjer saat itu, yaitu Ki Kertowongso. Ki Kertowongso adalah cicit Ki Bodronolo. Sultan Amangkurat I singgah di Panjer saat malam hari.
Kebetulan malam itu hujan turun dengan lebatnya. Sultan Amangkurat I meminta diberi minum air degan (air kelapa muda) kepada Ki Kertowongso.
Oleh karena kondisi tidak memungkinkan, Ki Kertowongso tidak dapat memetik kelapa muda sehingga yang diberikan justru air kelapa tua kering (kelapa aking).
Ajaibnya setelah diberi minum air kelapa aking, Sultan Amangkurat I justru menjadi sembuh.
Atas jasanya memberikan minum kelapa aking kepada Sultan Amangkurat I maka Ki Kertowongso kemudian diangkat sebagai seorang Tumenggung dengan gelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I). Trah Kolopaking inilah yang secara turun temurun meneruskan kepemimpinan Panjer sejak Ki Bodronolo hingga masa pemerintahan Kolopaking IV.
TRAH ARUNGBINANG
Selain trah Kolopaking, Kebumen juga mengenal trah Arungbinang. Munculnya nama Kebumen tidak terlepas dari seorang tokoh bernama Ki Bumi atau banyak pula yang menyebutnya Pangeran Bumidirjo. Ki Bumi adalah adik kandung Sultan Agung. Beliau merupakan salah satu tokoh yang tidak menyukai kepemimpinan anak Sultan Agung, yaitu Sultan Amangkurat I.
Sultan Amangkurat I ingin menyingkirkan Ki Bumi dari lingkungan Mataram Islam. Ki Bumi kemudian melarikan diri ke arah Panjer. Sesampainya di Panjer, Ki Bumi diterima dengan baik oleh pemimpin Panjer saat itu yang bernama Ki Hastrosuto. Ki Hastrosuto adalah putra Ki Bodronolo.
Pada akhirnya, Ki Bumi akan menetap dan menjalani sisa kehidupannya di Kutowinangun. Ki Bumi nantinya akan melahirkan trah Arungbinang yang silih berganti memimpin Kebumen pasca perubahan nama dari Panjer.
Nama Arungbinang sendiri merupakan gelar yang pertama kali diberikan kepada Joko Sangkrip, keturunan Ki Bumi. Joko Sangkrip atau Arungbinang I merupakan seorang bangsawan Surakarta yang semasa kecil memiliki penyakit kulit.
Beliau kemudian mengembara menuju Kutowinangun untuk menemui pamannya. Penyakit kulit Joko Sangkrip sembuh setelah berendam di suatu sumber air yang kini dikenal dengan nama Sendang Arum Kutowinangun.
PERANG KUPU TARUNG (1831)
Adakah keterkaitan antara trah Kolopaking dengan trah Arungbinang? Pada tahun 1831, terjadi pertempuran sengit di daerah Tugu Lawet sekarang. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama Perang Kupu Tarung.
Pada Perang Kupu Tarung, Belanda menggunakan siasat adu domba agar Kolopaking IV (keturunan Ki Bodronolo penguasa Panjer) dan Arungbinang IV (keturunan Ki Bumi penguasa Kutowinangun) saling bertempur. Arungbinang IV akhirnya berhasil mengentaskan perlawanan Kolopaking IV.
Pertempuran ini dinamakan Kupu Tarung karena kupu-kupu merepresentasikan suatu keindahan. Perang dua tokoh besar antara Kolopaking IV melawan Arungbinang IV dilambangkan dengan dua kupu-kupu yang sedang bertarung memperebutkan supremasi kekuasaan.
Untuk mengenang pertempuran ini, pada tahun 2019 silam, pemerintah Kebumen membangun Monumen Kupu Tarung di sekitar lokasi pertempuran, tidak jauh dari ikon kota Tugu Lawet.
Hasil dari pertempuran tersebut, posisi Kolopaking IV sebagai pemimpin Panjer dicopot dan diberikan kepada Arungbinang IV. Pada masa pemerintahan Arungbinang V, Panjer diganti nama menjadi Kebumen. Konon, nama Kebumen diambil dari kata kabumian yang merujuk pada daerah pelarian Ki Bumi selama dalam pengejaran Sultan Amangkurat I. Ki Bumi telah kita ketahui sebelumnya adalah leluhur dari trah Arungbinang. Trah Arungbinang silih berganti memimpin Kebumen hingga Jepang tiba di Indonesia tahun 1942 semasa pemerintahan Arungbinang VIII.
Sedangkan keturunan Kolopaking harus menyingkir ke luar Kebumen dan dilarang menggunakan kembali gelar Kolopaking.
Keturunan Kolopaking IV ada yang menjadi Bupati Karanganyar–sekarang berstatus kecamatan–dengan gelar Kertanegara dan ada pula yang menjadi Bupati Banjarnegara dengan gelar Jayanegara.
PEMBAGIAN WILAYAH PASCA PERANG JAWA DAN PERANG KUPU TARUNG
Semenjak memenangkan Perang Jawa (1825-1830) dan Perang Kupu Tarung (1831), Belanda memegang kekuasaan penuh atas wilayah selatan Jawa. Kemudian Belanda membagi Keresidenan Bagelen menjadi enam kabupaten, yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Ambal, Kabupaten Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Ledok (Wonosobo). Pada tahun 1872, Kabupaten Ambal dihapuskan. Keresidenan Bagelen kemudian juga dihapuskan dan semua kabupaten yang tersisa bergabung dengan Keresidenan Kedu pada tahun 1901.
PERUBAHAN HARI JADI KEBUMEN
Sebelum tanggal 21 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kebumen yang baru, Kebumen sempat menggunakan tanggal 1 Januari sebagai hari jadinya. Bagaimana awal mulanya? Sebelum wilayah Kebumen seluas sekarang, Sungai Luk Ulo menjadi saksi perkembangan dua kabupaten. Sungai Luk Ulo menjadi batas bagi dua wilayah, yaitu wilayah timur untuk Kabupaten Kebumen (wetan kali) dan wilayah barat untuk Kabupaten Karanganyar (kulon kali).
Sejarah Kebumen
Sungai Luk Ulo yang pernah menjadi batas bagi dua kabupaten, yaitu Kebumen dan Karanganyar. (Dok. Setyo Adi Nugroho/Potret Lawas Kebumen)
Pada tahun 1929, dunia sedang mengalami krisis malaise atau depresi ekonomi besar. Untuk mengatasinya, Belanda berinisiatif menyatukan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen.
Pemerintahan Karanganyar awalnya tidak setuju karena mereka merasa lebih maju dibanding Kebumen. Namun, usaha untuk mempertahankan status Karanganyar sebagai kabupaten tetap tidak terwujud.
Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1936, Kabupaten Karanganyar dihapuskan. Wilayahnya menjadi bagian Kabupaten Kebumen hingga kini. Sejak saat itu, tanggal 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Jadi Kebumen sebelum nantinya diubah menjadi 21 Agustus pada tahun 2018 yang merujuk pada kontribusi penting Ki Bodronolo dalam penyerangan kedua Mataram Islam ke Batavia seperti penjelasan di awal artikel.
Penulis: Setyo Adi Nugroho, founder Potret Lawas Kebumen