Berakhirnya Momentum Jokowi, Kaesang Adalah Kartu Mati

Presiden Joko Widodo. (Foto. Akun Facebook Presiden Joko Widodo)

“Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya, dan masa kejayaan dipergilirkan diantara manusia”.

Joko Widodo (Jokowi) memang hebat dan kuat sebagai Presiden Republik Indonesia dua periode (2014-2019, 2019-2024). Namun sebagai manusia bukan berarti tidak dapat dikalahkan dan ditumbangkan.

Memang benar, Jokowi adalah fenomena. Saya termasuk saksi yang mengikuti perjalanan Jokowi sejak dari Solo hingga menjadi orang nomor satu di negeri ini. Saya tinggal di Solo hampir 10 tahun, sejak tahun 1996 sampai 2006.

Bacaan Lainnya

Perjalanan Jokowi yang dari seorang “tukang kayu” kemudian menjadi Walikota Solo dua periode, lalu Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden Republik Indonesia ke – 7, sangat dipengaruhi oleh MOMENTUM atau spiritualis Jawa menyebutnya WAHYU KEPRABON.

Dalam ilmu fisika, momentum adalah besaran vektor yang dapat dinyatakan sebagai hasil kali antara massa benda (m) dan kecepatannya (v). Karena itu, massa dan kecepatan merupakan faktor utama yang mempengaruhi besaran sebuah kekuatan gerak pada benda.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi umum momentum /mo·men·tum/ /moméntum/ n 1 saat yang tepat; 3 kesempatan. Momentum biasanya tidak bertahan lama. Kata ini merupakan kosa kata favorit dalam Ajaran Spiritual Murni SHD.

Bagi saya, kata ini dimaknai dengan pengertian berupa saat yang tepat/kesempatan, yang sifatnya tidak akan bertahan lama. Momentum akan terjadi apabila ada sebuah daya dorong, ada sebuah energi besar.

Momentum adalah wahana percepatan (akselerasi), apabila syaratnya terpenuhi. Momentum memang seperti simsalabim sulap, apabila syaratnya dipenuhi. Siapa yang mengira, seorang tukang kayu, rakyat jelata menjadi presiden dua periode.

Energi besar yang mendorong terjadinya momentum adalah kehendak suci Sang Pencipta berupa dukungan semesta (Mestakung) melalui wahana Avatara yang bertemu dengan Free Will rakyat jelata yang memilih pilihan yang tepat/selaras, sehingga ledakan energinya dapat mempercepat sebuah proses.

Singkatnya, Jokowi menjadi walikota, gubernur dan presiden adalah karena kehendak Sang Pencipta, melalui mekanisme momentum atau jalan kewahyuan, yaitu Wahyu Keprabon. Oleh karenanya tidak bisa dinalar dengan teori politik apapun.

Momentum atau Wahyu Keprabon adalah anugerah Sang Pencipta yang tidak bisa dinilai oleh sebanyak apa pun materi yang ada di planet bumi. Tidak bisa dibeli maupun dimanipulasi, karena banyak variabel yang mempengaruhi, tidak sekedar nomimal dalam mata uang saja.

Momentum ini sifatnya tidak langgeng, dapat hilang dan rusak seiring berjalannya waktu atau faktor lainnya.

Faktor lain yang dapat merusak atau mengakhiri momentum adalah free will manusia itu sendiri yang lebih senang melayani egonya akan keserakahan, ketamakan dan kerakusan akan dunia.

Hari ini, Jumat Pahing, 22 Agustus 2024 (18 Sapar), saya melihat momentum atau Wahyu Keprabon Jokowi menunjukkan tanda-tanda telah rusak dan akan segera berakhir.

Setidaknya ada 3 kasus atau peristiwa yang menjadi pertanda berakhirnya Momentum Jokowi.

1. Upacara Detik-Detik Proklamasi di IKN, Kalimantan

Ibukota negara belum secara resmi atau efektif berpindah ke IKN (Ibukota Nusantara di Kalimantan) dari Jakarta. Belum ada perayaan, peresmian (slup-slupan), bahkan presiden, kementerian, lembaga negara hingga badan-badan belum berkantor di IKN.

Tetapi free will Jokowi sebagai penguasa tertinggi lebih mementingkan egonya dengan memaksakan untuk menggelar Upacara Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus 2024 di IKN.

Jelaa ini keputusan yang menantang alam dan energi leluhur yang telah menetapkan Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tempat dimana kemerdekaan diproklamasikan pertama kali 79 tahun silam, 17 Agustus 1945.

Mestinya Jokowi terlebih dahulu meresmikan IKN sebagai ibukota, memindahkan seluruh energi, aura, restu, pemerintahan dan semua kekuatan dari Jakarta termasuk Wahyu Keprabon-nya.

2. Waktu Reshuffle Kabinet Dilakukan Senin Pon

Ketika Jokowi melakukan reshuffle kabinet pada Senin kemarin, 19 Agustus 2024, terus terang saya kaget dan langsung was-was, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

Terlepas dari skenario politik dan agenda tersembunyi dibalik pergantian Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), reshuffle yang dilakukan Senin Pon adalah di luar kebiasaan Jokowi.

Sebagaimana kita ketahui, Jokowi memiliki hari sakral, yaitu Rabu Pon, sesuai weton kelahirannya (21 Juni 1961. Selama 10 tahun memimpin negeri ini, Jokowi selalu melakukan reshuffle kabinet pada Rabu Pon, terkecuali tahun 2023 lalu yang digelar pada Rabu Pahing.

Rabu Pon memiliki jumlah neptu 14, yakni Rabu bernilai 7 dan Pon yang bernilai 7. Jika dijumlahkan, totalnya menjadi 14. Memiliki sifat menentramkan dan dipenuhi keberuntungan.

3. Kaesang Pangarep, Kartu Mati Jokowi

Kaesang berbeda dengan Gibran, anak bungsu (ragil) Jokowi adalah “kartu mati”. Dalam konteks politik, keberadaan Kaesang adalah faktor negatif bagi Jokowi.

Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994, memiliki weton Kamis Wage. Dalam primbon Jawa, Kamis memiliki watak sangar dan menakutkan, sementara pasaran Wage mempunyai sisi negatif angkuh, kaku, pemalas, pemarah dan tidak berwawasan. Rakamnya nuju pati, banyak sial dan apes.

Disisi lain, dalam kalender Masehi, tanggal 25 Desember adalah Hari Natal. Dalam keyakinan Kristiani, adalah Hari Kelahiran Yesus Kristus, sosok “Anak Tuhan” yang dikorbankan (disalib) untuk menebus dosa manusia.

Jadi ketika Kaesang dimunculkan dalam panggung politik saat ini, dia bukannya memberi nilai tambah bagi Jokowi tapi sebaliknya, menjadi beban dan faktor yang merusak momentum.

Hari ini, ketika Indonesia diguncang gejolak politik, polemik antara putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan putusan Mahkamah Agung (MA), penyebab utamanya adalah Kaesang.

Badan Legislasi (Baleg) DPR dipaksa kerja cepat membahas RUU Pilkada, penunjukkan Menkumham yang baru, Supratman Andi Agtas, juga diduga kuat untuk memuluskan jalan bagi Kaesang maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur.

Bisa dikatakan, seluruh pilar hukum (konstitusi) dan lembaga negara disibukkan gara-gara Kaesang. Bahkan gambar Garuda Biru sebagai simbol darurat negeri, menjadi trending topik di media sosial. Aksi mahasiswa dan masyarakat terjadi dimana-mana.

Jika Kaesang terus dipaksakan bisa maju sebagai Cawagub Jawa Tengah seperti banyak diberitakan, itu berarti menentang free will semesta dengan mengakali hukum. Memggunakan cara yang sama seperti kasus Gubran adalah ketika maju sebagai cawapres adalah bentuk egoisme yang berakibat fatal.

Melawan kehendak sebagain besar rakyat. Bahkan saya yakin, jika Ahmad Luthfi diberi kebebasan memilih antara Taj Yasin atau Kaesang, dia akan memilih yang pertama.

Taj Yasin jelas lebih matang, pengalaman, berlatar belakang ulama, memiliki basis massa yang jelas, dan yang pasti jauh dari konflik.

Satu-satunya kelebihan Kaesang dibanding Taj Yasin adalah, bahwa dia anak presiden.

Itulah tiga pertanda besar yang menunjukkan bahwa memontum Jokowi atau Wahyu Keprabon-nya sudah akan berakhir atau habis.

Saya hanya membaca pertanda alam, pastinya hanya Sang Pencipta yang tahu segalanya.

Kebumen, Malam Jumat Pahing, 23 Agustus 2024 bertepatan 17 Sapar 1958 Tahun Jawa, dan 18 Safar 1446 Hijriyah.

Al Faqir, Arif Yuswandono

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *